Banyak importir kecil hortikultura gulung tikar



JAKARTA. Kebijakan impor produk hortikultura masih menuai protes. Para importir keberatan dengan beberapa poin dalam kebijakan itu, antara lain mengenai kewajiban memiliki gudang penyimpanan (cold storage) dan pembatasan pelabuhan masuk untuk produk impor.

Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) meminta pemerintah mencabut beberapa ketentuan di Peraturan Menteri Pertanian yang mewajibkan importir memiliki cold storage dengan kapasitas cukup besar.

Bob Budiman, Wakil Ketua Gisimindo berpendapat, aturan tentang gudang penyimpanan ini bisa mengundang praktek kartel. Sebab, hanya perusahaan importir besar yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut. "Ini kan produk fresh yang tidak membutuhkan gudang dalam jumlah besar," kata Bob.


Ketentuan lainnya adalah tentang kewajiban laporan surveyor ketika produk impor sampai di pelabuhan. Dengan ketentuan ini, beban importir bertambah besar. Biaya surveyor bisa mencapai Rp 3 juta hingga Rp 4 juta.

Ketentuan lain yang dianggap merugikan importir adalah pintu impor yang hanya melalui empat pelabuhan, yakni Belawan di Sumatera Utara, Tanjung Perak di Surabaya, Soekarno Hatta di Makassar, dan Bandara Soekarno Hatta, Banten.

Akibat pembatasan di empat pintu masuk itu, importir mengklaim biaya yang harus mereka tanggung membengkak hingga miliaran rupiah. Sebab, banyak importir harus mengalihkan produk dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta ke pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. "Setiap bulan importir rugi hingga Rp 1,5 miliar," ungkap Bob. Hal ini karena biaya transportasi lebih besar karena bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak.

Maka itu, importir meminta pemerintah membuka kembali pelabuhan Tanjung Priok sebagai pintu masuk produk impor hortikultura. Akibat pembatasan impor, Bob mengaku banyak importir, khususnya kalangan menengah ke bawah, gulung tikar. "Dari sebelumnya ada ratusan importir sekarang tinggal puluhan importir," tutur dia.

Gisimindo juga meminta pemerintah segera mengeluarkan Rekomendasi Izin Pemasukan Hortikultura (RIPH). Ini dilakukan demi mengatasi lonjakan harga produk hortikultura. Apalagi, RIPH terakhir dikeluarkan pada 28 September 2012.

Menurut Bob, impor adalah konsekuensi dari minimnya pasokan buah dan sayuran lokal. Akibatnya, harga buah dan sayuran impor terus melonjak.

Dia mencontohkan, harga jeruk impor biasanya Rp 8.000 per kilogram, kini melonjak menjadi Rp 20.000 per kg. Kemudian bawang putih impor yang biasanya Rp 10.000 per kg menjadi RpĀ  30.000 per kg. "RIPH baru harus dikeluarkan agar harga tidak naik. Jika RIPH tidak keluar, akan banyak penyelundupan barang," ungkap Bob.

Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyatakan pengaturan impor hortikultura agar pasar di dalam negeri tetap sehat. Sebab, selama ini produk buah dan sayuran di pasar terlalu murah. Pemerintah juga harus menjaga harga di tingkat petani. "Untuk jaga keseimbangan di pasar," kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sandy Baskoro