KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kehadiran bank kecil yang mengklaim sebagai bank digital telah menimbulkan euforia di bursa saham. Saham-saham bank digital menjadi buruan investor saham. Kendati demikian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak pernah membedakan jenis bank digital dengan bank lain yang sudah eksis melayani masyarakat selama ini. Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyatakan, bank konvensional malah juga sudah memberikan layanan digital tanpa meninggalkan layanan konvensional. Ia menyebut masyarakat kini memang semakin membutuhkan layanan yang serba digital. OJK pun tengah menyiapkan cetak biru perbankan digital.
Cetak biru atau
blueprint transformasi digital perbankan itu mengatur pengelolaan data nasabah, keamanan siber, layanan nasabah, hingga keamanan transaksi. Termasuk juga permodalan bank dengan opsi mendirikan bank digital baru dengan modal Rp 10 triliun atau transformasi bank yang sudah ada menjadi digital dengan modal yang sudah ada sebesar Rp 3 triliun. “Ini kita sebut digital maturity banking, artinya bank yang menyebut dirinya sebagai bank digital ada ukurannya bagi OJK. Bisa kita ukur seberapa jauh layanan digital yang dimiliki. Jadi tidak semua bank bisa mengatakan dirinya sebagai bank digital,” ujar Heru kepada Kontan.co.id pada pekan lalu.
Baca Juga: Harga saham BBCA Merah, BBHI Melesat di Perdagangan Bursa Senin (10/1) Dalam
blueprint dan digital maturity banking itu, ukuran sebagai bank digital mencakup perlindungan data dan siber, pengaturan tata kelola, outsourcing layanan dari pihak ketiga, hingga organisasi bank itu sendiri. “
Blueprint ini memang baru pedomanan, nanti itu akan kita segera kita keluarkan Peraturan OJK (POJK)nya. Sebelumnya, Juli 2022 POJK-nya sudah ada. Sehingga tidak jadi pedomanan lagi, tapi menjadi suatu keharusan,” kata Heru. Tujuan POJK ini dirilis agar bank digital tidak lagi dijadikan sebagai gimmick saja oleh industri perbankan. Namun menjadi bank yang melayani secara digital, lebih efisien dengan tidak perlu banyak cabang. Juga berkontribusi lebih banyak terhadap perekonomian nasional. Heru menyadari harapan masyarakat terhadap bank digital semakin tinggi terlihat dari harga saham bank digital melampaui fundamental-nya. Para investor dari perusahaan teknologi besar maupun konglomerasi ikut berpartisipasi mengempit saham bank kecil ini. “Bank-bank yang diambil alih itu memang fundamentalnya seperti itu terus. Tidak punya visi ke depan, bertahun-tahun tidak pernah berkembang. Kontribusinya ada, tapi relatif kecil dan hanya kepada kelompok mereka saja,” ujar Heru. Kendati demikian, ia melihat, keseriusan para investor yang baru masuk ke bank yang mengklaim digital itu. Heru menyebut, proses fit and proper test OJK bagi calon investor tidak masuk. Regulator melemparkan berbagai pertanyaan dan memastikan strategi investor anyar ini bagi pengembangan bank ke depannya. Ia menyatakan OJK akan bertugas guna mendorong bank-bank ini meningkatkan fundamentalnya. Artinya, OJK akan menagih dan memastikan bank tersebut menjalankan fungsi intermediasinya dan melayani nasabah. Memang saat ini, kapitalisasi pasar bank digital terus meningkat, bahkan dua bayi bank digital terus merangsek naik dan menyalip bank-bank besar. PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) yang hingga kini belum jelas produk dan layanan digitalnya mencatat kapitalisasi pasar Rp 79,44 triliun.
Saham bank ini ditutup melesat naik 19,82% pada perdagangan Senin (10/1) ke level Rp 6.800. Sedangkan Bank Jago Tbk (ARTO) telah memiliki kapitalisasi sebesar Rp 262,58 triliun. Harga sahamnya ditutup naik 0,8% menjadi Rp 18.950. Jika mengacu pada rasio PBV, dua bank digital ini sudah sangat mahal atau tidak sesuai dengan fundamentalnya. ARTO sudah mencapai 32,29x dan BBHI lebih tinggi lagi yakni 61,72x.
Baca Juga: Saham Grup Salim dan CT Corp Jadi Jawara Grup Konglomerasi Sepanjang 2021 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat