JAKARTA. Indonesia Property Watch (IPW) berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kasus "mafia pailit" dalam sengketa properti dan ulah merugikan para pengembang "nakal". Asosiasi pengembang tak banyak berbuat, sementara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat, juga tak bergigi menghadapi kasus-kasus yang merugikan konsumen properti. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghanda, di Jakarta, Senin (21/4). Ali mengatakan, saat ini IPW bertindak aktif melakukan mediasi antara konsumen dan pihak terkait. Untuk jangka panjang, pihaknya bahkan berniat memasukkan para pengembang tersebut dalam "daftar hitam". Tak main-main. Berdasarkan data IPW selama periode Januari hingga Februari 2014, tercatat ada 43 pengaduan konsumen properti. Sebanyak 17 kasus berasal dari Jakarta, 16 kasus dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, 8 kasus dari bagian Pulau Jawa lainnya, serta 2 kasus dari luar Jawa. Sebelumnya, sepanjang 2013, sengketa properti yang tercatat dalam buku pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencapai 121 kasus, atau sekitar 15,5% dari total 778 kasus. Jumlah tersebut menempatkan sengketa properti berada di peringkat ketiga tertinggi, setelah perbankan dan telekomunikasi. Menurut Ketua YLKI Sudaryatmo, jika dilihat dari karakteristik, terdapat dua jenis pengaduan, yakni terkait landed housing (perumahan tapak), dan vertical housing (apartemen). Sengketa dipicu oleh masalah saat prakonstruksi, konstruksi, dan ketika properti tersebut dihuni. Meski demikian, lanjut Ali, sampai saat ini tak ada aksi tegas sehingga tidak mungkin ada kemajuan dari kasus-kasus tersebut. Untuk itulah, Ali menegaskan pentingnya kehadiran badan tersendiri untuk menampung keluhan konsumen dan menyatukan semua pihak berkepentingan. "Kita coba buat badan arbitrase, dulu ada pokja. Zaman (Kemenpera) Djan Faridz diberhentikan. Kita minta ke Kemenpera ada pokja untuk konsumen karena konsumen banyak (yang mengeluh). BPN, Tata Kota, REI, Apersi coba satu mediasi, tapi sampai saat ini tidak ada," kata Ali. "Lucunya, berapa kali saya ke konsumen dan ke Kemenpera, tidak ada pemecahan. Diminta diselesaikan antara pengembang dan konsumen, ya tidak bisa. Pengembang lebih kuat. Dengan pokja, ada satu tempat untuk komplain. Kalau tidak ada tempat untuk berkumpul, susah. Dulu cukup ada komunikasi, sekarang tidak," tambahnya. Mafia pailit Berdasarkan data IPW, dari 43 pengaduan konsumen properti, kasus yang melibatkan "mafia pailit" memiliki jumlah pengaduan terbanyak, yaitu delapan kasus dan semuanya terjadi di Jakarta. Kasus terbanyak kedua adalah molornya serah terima properti, sebanyak tujuh kasus di Jabodetabek. Kasus dengan jumlah terbanyak ketiga adalah sengketa PPRS berjumlah lima kasus, yang semuanya juga terjadi di Jakarta. Menurut Ali, kasus yang tengah banyak ditangani dan disoroti IPW adalah kasus-kasus "mafia pailit", khususnya yang terjadi di Sentra Kemanggisan. Setidaknya ada 30 orang datang ke IPW untuk minta keadilan mengenai masalah itu. Sayangnya, Ali mengungkapkan, wewenang IPW hanya bisa mencapai tahap mediasi. "Ada 150 pembeli yang dibatalkan karena pailit dan dibayar hanya 15 persen. Sekarang disegel karena izinnya juga belum keluar," ujar Ali. Ali mengungkapkan, IPW dengan Realestat Indonesia (REI) tengah berusaha agar REI tidak menjadi tempat bersembunyi pengembang "nakal". Menurut dia, pada banyak kasus, konsumen tidak memiliki kekuatan sama sekali. Selain REI, Kemenpera pun dituntut punya suara mengenai hal ini. Sayangnya, Ali mengatakan bahwa belum ada tanggapan memuaskan dari bagian hukum Kemenpera. "REI hanya sebagai 'tempat persembunyian'. Kita coba ke Kemenpera, tidak ada solusi. Dari legal di Kemenpera, Ibu Maharani, tak ada action juga," imbuh Ali. (Tabita Diela)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Banyak konsumen properti terjebak mafia pailit
JAKARTA. Indonesia Property Watch (IPW) berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kasus "mafia pailit" dalam sengketa properti dan ulah merugikan para pengembang "nakal". Asosiasi pengembang tak banyak berbuat, sementara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat, juga tak bergigi menghadapi kasus-kasus yang merugikan konsumen properti. Demikian dikatakan Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghanda, di Jakarta, Senin (21/4). Ali mengatakan, saat ini IPW bertindak aktif melakukan mediasi antara konsumen dan pihak terkait. Untuk jangka panjang, pihaknya bahkan berniat memasukkan para pengembang tersebut dalam "daftar hitam". Tak main-main. Berdasarkan data IPW selama periode Januari hingga Februari 2014, tercatat ada 43 pengaduan konsumen properti. Sebanyak 17 kasus berasal dari Jakarta, 16 kasus dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, 8 kasus dari bagian Pulau Jawa lainnya, serta 2 kasus dari luar Jawa. Sebelumnya, sepanjang 2013, sengketa properti yang tercatat dalam buku pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencapai 121 kasus, atau sekitar 15,5% dari total 778 kasus. Jumlah tersebut menempatkan sengketa properti berada di peringkat ketiga tertinggi, setelah perbankan dan telekomunikasi. Menurut Ketua YLKI Sudaryatmo, jika dilihat dari karakteristik, terdapat dua jenis pengaduan, yakni terkait landed housing (perumahan tapak), dan vertical housing (apartemen). Sengketa dipicu oleh masalah saat prakonstruksi, konstruksi, dan ketika properti tersebut dihuni. Meski demikian, lanjut Ali, sampai saat ini tak ada aksi tegas sehingga tidak mungkin ada kemajuan dari kasus-kasus tersebut. Untuk itulah, Ali menegaskan pentingnya kehadiran badan tersendiri untuk menampung keluhan konsumen dan menyatukan semua pihak berkepentingan. "Kita coba buat badan arbitrase, dulu ada pokja. Zaman (Kemenpera) Djan Faridz diberhentikan. Kita minta ke Kemenpera ada pokja untuk konsumen karena konsumen banyak (yang mengeluh). BPN, Tata Kota, REI, Apersi coba satu mediasi, tapi sampai saat ini tidak ada," kata Ali. "Lucunya, berapa kali saya ke konsumen dan ke Kemenpera, tidak ada pemecahan. Diminta diselesaikan antara pengembang dan konsumen, ya tidak bisa. Pengembang lebih kuat. Dengan pokja, ada satu tempat untuk komplain. Kalau tidak ada tempat untuk berkumpul, susah. Dulu cukup ada komunikasi, sekarang tidak," tambahnya. Mafia pailit Berdasarkan data IPW, dari 43 pengaduan konsumen properti, kasus yang melibatkan "mafia pailit" memiliki jumlah pengaduan terbanyak, yaitu delapan kasus dan semuanya terjadi di Jakarta. Kasus terbanyak kedua adalah molornya serah terima properti, sebanyak tujuh kasus di Jabodetabek. Kasus dengan jumlah terbanyak ketiga adalah sengketa PPRS berjumlah lima kasus, yang semuanya juga terjadi di Jakarta. Menurut Ali, kasus yang tengah banyak ditangani dan disoroti IPW adalah kasus-kasus "mafia pailit", khususnya yang terjadi di Sentra Kemanggisan. Setidaknya ada 30 orang datang ke IPW untuk minta keadilan mengenai masalah itu. Sayangnya, Ali mengungkapkan, wewenang IPW hanya bisa mencapai tahap mediasi. "Ada 150 pembeli yang dibatalkan karena pailit dan dibayar hanya 15 persen. Sekarang disegel karena izinnya juga belum keluar," ujar Ali. Ali mengungkapkan, IPW dengan Realestat Indonesia (REI) tengah berusaha agar REI tidak menjadi tempat bersembunyi pengembang "nakal". Menurut dia, pada banyak kasus, konsumen tidak memiliki kekuatan sama sekali. Selain REI, Kemenpera pun dituntut punya suara mengenai hal ini. Sayangnya, Ali mengatakan bahwa belum ada tanggapan memuaskan dari bagian hukum Kemenpera. "REI hanya sebagai 'tempat persembunyian'. Kita coba ke Kemenpera, tidak ada solusi. Dari legal di Kemenpera, Ibu Maharani, tak ada action juga," imbuh Ali. (Tabita Diela)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News