JAKARTA. Cukup banyak pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota yang tidak dapat melaksanakan amanat UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Itu terbukti, menurut Wakil Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Harry Azhar Azis, saat ini masih banyak daerah yang belum menyiapkan payung hukum berupa peraturan daerah (Perda) tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atau BPHTB. "Kalau daerah tidak siap, ini akan menjadi keuntungan bagi masyarakat dan pengusaha karena tidak perlu membayar BHPTB dalam proses transaksinya. Namun, di sisi lain, bisa menimbulkan masalah" ucap Harry melalui sambungan telepon, Kamis sore (21/10).
Salah satu masalah yang bisa timbul, andaikata Perda yang diterbitkan oleh satu daerah menyebutkan aturan mengenai BPHTB berlaku surut atau memungut ke belakang, padahal Perda baru terbit pertengahan tahun 2011 atau 2012. "Masyarakat bisa melakukan gugatan bahkan bisa ke Mahkamah Konstitusi karena daerah dinilai tidak melaksanakan UU," jelas dia berandai-andai.
Sekadar mengingatkan, mulai 1 Januari 2011 kewenangan memungut BPHTB menjadi kewenangan pemerintah daerah. Sebelumnya, BPHTB merupakan salah satu sumber penerimaan bagi pemerintah pusat. Nah, selama ini, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang bertugas memungut BPHTB.
Menurut Harry, agar tidak ada masalah di kemudian hari, pemerintah perlu mempertegas apakah ada masa transisi pengalihan kewenangan. "Perlukah Ditjen Pajak yang masih menangani sampai Perda BPHTB terbit, ini perlu kejelasan," kata dia lagi.
Iqbal Alamsjah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak mengatakan, berdasarkan pemantauan pemerintah pusat, saat ini derah masih menyiapkan Perda BPHTB. "Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri siap sosialisasi," kata Iqbal melalui SMS.
Asal tahu saja, Ditjen Pajak mencatat potensi BPHTB seluruh Indonesia sekitar Rp 7 triliun. Hingga akhir September 2010, penerimaan BPHTB sudah lebih dari Rp 4 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News