Bappenas: Pajak masyarakat kaya belum maksimal



JAKARTA. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Sofyan Djalil mengatakan tagihan pajak dari kalangan masyarakat kaya belum maksimal, sehingga konsentrasi kekayaan terkumpul di sekelompok masyarakat, tidak tersebar secara merata.

"Kebijakan ke depan, seharusnya orang kaya, kita kenakan pajak dengan baik. Maka dari itu administrasi pajak harus dibenahi," kata Sofyan saat membuka Konferensi tentang Perlindungan Sosial: Bukti untuk Kebijakan, di Jakarta, Selasa (12/1).

Sofyan mengatakan kurangnya penerimaan pajak dari masyarakat kaya itu pula yang membuat tingkat ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung besar, dibanding negara-negara berkembang lain. Ukuran ketimpangan yakni rasio gini Indonesia pada 2015 masih bercokol di 0,41, dari 2013.


Jika penerimaan pajak dari masyarakat kaya maksimal, kapasitas belanja negara juga akan meningkat.

Dengan begitu, belanja negara tersebut bisa dikonversikan untuk program yang meningkatkan pendapatan masyarakat menengah, masyarakat rentan miskin dan miskin.

"Jurang pemisah antarmasyarakat makin lebar. Bayangkan, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 50% kekayaan bangsa ini," ujar dia.

Sofyan menekankan solusi untuk mengatasi masalah tidak tersebarnya kekayaan itu adalah pembenahan administrasi dan basis data pajak.

Dengan begitu, aparat pajak memiliki data yang akurat untukmengintensifikasi penerimaan pajak dari masyarakat kaya.

Untuk mengatasi tingkat ketimpangan yang makin lebar, Sofyan menilai, program untuk masyarakat menengah harus ditekankan pada peningkatan produktivitas. Antara lain, kebijakan untuk mendorong lahirnya para wirausahawan muda.

"Sedangkan untuk masyarakat di bawahnya, perlindungan sosial harus dapat dinikmati mereka semua," ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Kantor Wakil Presiden Bambang Widianto mengatakan tarif pajak yang dibebankan kepada penguasa modal (capital) dan tenaga kerja (labours) harus lebih adil.

Selama ini, kata Bambang, pajak yang dikenakan kepada "capital" lebih rendah dibanding kepada "labours".

"Ini secara struktural harus dibenarkan," kata dia.

Dia mencontohkan, Brazil pada awal dekade 2000-an pernah menderita rasio gini hingga 0,59. Akhirnya Brazil fokus pada dua program yakni anggaran fiskal untuk perlindungan sosial dan perluasan akses pendidikan.

"Akhirnya, rasio gini turun menjadi 0,52. Namun itu juga dalam 6-7 tahun," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia