Bara emiten rokok tak pernah padam



JAKARTA. Tampaknya tak berlebihan apabila produk rokok disandingkan dengan sembilan bahan pokok (sembako). Fakta memperlihatkan, meski iklan dan segala bentuk promosi rokok berkurang, konsumsi produk yang satu ini tetap tinggi.

Lihat saja, kinerja dua produsen rokok papan atas, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) masih positif. Di kuartal I-2017, penjualan HMSP dan GGRM tumbuh masing-masing 11% dan 3% year-on-year (yoy). Tapi rata-rata belanja iklan emiten rokok menyusut selama kuartal pertama tahun ini (lihat tabel).

Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai, penurunan belanja iklan rokok tak lepas dari regulasi yang membatasi iklan rokok. Televisi, misalnya, hanya boleh menayangkan iklan rokok di atas pukul 22.00. Jadi, penurunan belanja iklan bukan karena inisiatif emiten. "Tapi memang ruang gerak mereka dibatasi," ujar Alfred, Jumat (5/5).


Masalahnya, tayangan iklan di jam itu kurang efektif karena penonton lebih sedikit dibandingkan jam utama (prime time). Daripada membuang uang, lebih baik emiten berhemat belanja iklan. Inilah penyebab belanja iklan emiten rokok turun signifikan, rata-rata sebesar 29%.

Meski ruang gerak semakin terbatas, pencapaian kinerja emiten rokok sudah bagus. "Kinerja mereka optimal dan mengalahkan prediksi pasar. Industri rokok malah mencetak margin lebih tebal," jelas Alfred.

Pandangan senada disampaikan analis NH Korindo Sekuritas Joni Wintarja. Iklan rokok di atas jam 10 malam kurang efektif. Jadi, sekarang tinggal bagaimana emiten rokok menjaga penetrasi pasar. Salah satunya melalui promosi tradisional seperti event.

Demi menjaga permintaan, emiten rokok tak kesulitan menerapkan promosi tradisional. "Tapi meski tidak semua orang merokok, industri rokok sudah seperti industri bahan pokok," ungkap Joni. Alhasil, tidak perlu banyak iklan atau promosi, permintaan rokok tetap ada.

Alfred melihat, konsumsi rokok akan terus ada seiring kenaikan golongan usia tertentu. "Remaja ketika di usia 15 tahun belum merokok, tapi masuk 16 tahun jadi perokok," imbuh Joni.

Jadi, kecil kemungkinan permintaan rokok berhenti total. Yang ada hanya berkurang atau terjadi pergeseran selera merokok. Sekarang, perokok muda menyukai rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) karena rokok jenis ini memiliki aroma dan rasa cukup kuat.

Pergeseran selera juga terlihat dari kinerja HMSP. Emiten ini memiliki merek SKM kadar tar tinggi melalui U Bold dan Marlboro Filter Black. Keduanya adalah jenis SKM dan belum lama meluncur ke pasar. Meski terbilang pendatang baru, pasar merespons positif kedua produk itu.

Lihat saja, U Bold meluncur pada Februari 2015. Setelah ekspansi bertahap ke 55 kota sepanjang 2016, pangsa pasar secara nasional mencapai 0,9%.

Marlboro Filter Black yang umurnya lebih muda malah moncer. Meluncur pada September 2016 di 25 kota, rokok ini sudah mencuil 1% pangsa pasar.

Tapi prospek bisnis HMSP tak otomatis mengerek prospek sahamnya. Sebab valuasi HMSP relatif tinggi. Saham ini memiliki price earnings ratio (PER) 34 kali, sementara price book value (PBV) 12 kali.

Bandingkan dengan GGRM yang memiliki PER dan PBV masing-masing 16 kali dan 3 kali. GGRM juga sudah kuat di segmen SKM. "Jadi, kalau mempertimbangkan valuasi, kami menyukai GGRM," kata Alfred.

Alfred merekomendasikan buy GGRM dengan target Rp 77.200 hingga akhir tahun. Ia merekomendasikan hold HMSP dengan target Rp 4.260 per saham.

Joni juga merekomendasikan hold saham HMSP dengan target Rp 4.520 per saham, dan buy GGRM dengan target harga Rp 79.450 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia