Tahun 2013 tak lama lagi akan tutup. Namun, hingga kini, tak ada kejelasan nasib perjanjian kesepakatan Indonesia dengan China atas produk hortikultura. Perjanjian yang acap kali disebut dengan
mutual regognition agreement (MRA) ini malah tak ada kabar beritanya. Anda tentu ingat. Dengan alasan membantu produk hortikultura lokal, Pemerintah Indonesia memperketat impor. Caranya, pertama dengan membatasi pintu masuk impor produk hortikultura. Kedua, dengan menetapkan kuota impor. Sontak saja, kebijakan yang keluar pada pertengahan tahun 2013 ini mengundang protes. Salah satunya dari China. yang banyak mengekspor produk pertanian ke Indonesia. Tak tinggal diam, Pemerintah China menjegal masuknya buah salak Indonesia dengan alasan kesehatan. Dari peristiwa ini, Indonesia dan China sepakat untuk mengikat perjanjian ekspor dan impor yang seimbang untuk kedua negara lewat MRA.
Dalam rancangan MRA yang dirintis sejak Mei 2013 itu, Indonesia dan China sepakat untuk "membarter" empat komoditas. Yakni buah manggis, salak, sarang walet dan alpukat. Sementara China menawarkan apel, pir, jeruk dan bawang putih. Sebagai tahap awal, komoditas yang akan dipertukarkan adalah sarang walet dan bawang putih. Menteri Pertanian Suswono menargetkan, kesepakatan tersebut bisa ditanda tangani akhir tahun ini, sehingga tahun 2014, Indonesia bisa langsung ekspor walet tanpa perantara. Sebaliknya, impor bawang putih dari China bisa masuk lewat Tanjung Priok. Nyatanya, tahun ini, sudah hampir berakhir, kedua negara tak kunjung menandatangani MRA. Indonesia mengaku masih menunggu dari China dokumen verifikasi good agricultural pratices (GAP) untuk kebun dan daerah status penyakit. Padahal, Indonesia sudah mengirimkan dokumen sertifikasi kesehatan untuk produk walet sejak awal Oktober lalu dan hingga kini belum diverifikasi oleh China. Sophia Setyawati, Kepala Bidang Kerjasama Perkarantinaan Pusat Kepatuhan Kerjasama dan Informasi Perkarantinaan Kementrian Pertanian mengaku tak tahu alasan China yang kunjung mengirimkan dokumen pendukung. Sophia menduga ada kendala bahasa dalam hal ini. Kata Suswono, molornya perjanjian ini menguntungkan Indonesia karena pengusaha lokal punya waktu meningkatkan daya saing produk lokal terhadap serbuan impor. "Sambil menyiapkan perjanjian, kita perkuat hortikultura lokal," kata dia. Namun, Benny Kusbini, Ketua Dewan Hortikultura Indonesia melihat serbuan apel, pir dan jeruk dari China akan membuat produk lokal sulit bersaing. Kata Benny, kebijakan MRA lebih menguntungkan buat China ketimbang Indonesia. Apalagi, impor dari China lebih besar daripada ekspor ke China. Sebagai bahan perbandingan, di tahun lalu, volume impor Apel dari China sebesar 140.900 ton dan nilai impornya sebanyak US$ 132,52 juta. Jumlah volume impor ini setara dengan 68,8% dari total volume impor apel tahun lalu sebesar 204.538 ton. Sementara ekspor manggis ke China pada 2012 hanya 100 ton atau sekitar US$ 104.700. Padahal tahun lalu, volume ekspor manggis secara keseluruhan mencapai 20.168 ton. Untuk salak, meski volume ekspor ke China gede, jumlahnya masih kecil. Pada 2012, volume ekspor salak ke China hanya 760.227 ton atau US$ 986.950. Selain buah, China memiliki kepentingan ekspor bawang putih ke Indonesia. Lebih dari 90%, impor bawang putih Indonesia dari China. Pada 2012, volume impor bawang putih dari China mencapai 445.171 ton. Sedangkan total volume impor bawang putih sebesar 452.245 ton. Di tahun lalu, nilai impor bawang putih dari China tembus US$ 271,19 juta.
Namun, Indonesia bersikeras MRA ini akan menguntungkan. Utamanya untuk ekspor sarang walet. Menurut Suswono, tiap tahunnya, potensi ekspor walet hingga Rp 7 triliun. Namun, dibolehkannya ekspor sarang walet ke China tentu dibarengi syarat panjang, yakni memenuhi standar kualitas China. "Tapi, ini mengorbankan produk hortikultura lain," ujar Benny. Namun, kabarnya, China sengaja memolorkan MRA karena tidak ada kuota impor atas bawang putih China. Buat apa ada MRA, toh mereka bisa masuk bebas. n Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Fitri Arifenie