Baru 20 Bank yang mampu layani transaksi hedging



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) minta bank-bank devisa memperkuat sistem infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) untuk melayani transaksi derivatif, semisal lindung nilai (hedging). Sebab, dari 70 bank devisa yang ada di Indonesia, baru 20 bank saja yang mampu melayani hedging valuta asing (valas). Sisanya atau 50 bank lain, belum memiliki kapasitas SDM serta sistem yang mumpuni.

Nanang Hendarsah, Deputi Task Force Financial BI mengatakan, BI memberikan tenggat waktu selama dua tahun bagi 70 bank untuk memperkuat layanan transaksi derivatif. Pasalnya, semua korporasi non bank per 1 Januari 2017 sudah wajib membekali utang-utang mereka dengan hedging.

Walhasil, jangan sampai bank-bank dalam negeri tidak siap menampung permintaan hedging valas dari perusahaan, saat pemerintah dan BI sudah mewajibkannya. “Dari 20 bank itu, yang mampu melayani hedging, rata-rata bank asing dan bank besar,” kata Nanang, Kamis (29/1).


Menurut hitungan Nanang, dari outstanding utang luar negeri Indonesia sebanyak US$ 160 miliar, hanya 13% saja yang sudah di-hedging. Memang dalam hal ini tidak ada rumusan baku berapa besar porsi ideal minimum utang luar negeri yang harus di-hedging.

Tapi menurut Nanang, di negara-negara ASEAN pada umumnya sebanyak 50% dari total utang luar negeri sudah dilindungi dengan hedging valas. Dampak positifnya adalah pasokan dan likuiditas valas di dalam negeri bisa lebih terjaga.

Selain itu risiko nilai tukar (kurs) dari pinjaman valas juga bisa lebih mini, lantaran sudah memperoleh penjaminan dari bank. “Apalagi kedepan fluktuasi kurs masih tinggi,” imbuh Nanang.

Namun ingat, tetap ada aturan main bagi bank yang melayani hedging. Semua mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), khususnya terkait Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Aturan tersebut terangkum dalam PBI Nomor 8/13/PBI/2006. Alasannya, lanjut Nanang, transaksi hedging merupakan salah satu jenis transaksi penyediaan dana oleh bank.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie