KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proyek smelter nikel-kobalt untuk baku baterai listrik di kawasan Teluk Weda, Maluku Utara atau proyek Sonic Bay ditinggal calon investornya. Untuk diketahui, proyek yang digadang-gadang memiliki nilai investasi senilai US$ 2,6 miliar atau setara dengan Rp 42,64 triliun ini ditinggal dua investornya yaitu perusahaan tambang Prancis Eramet dan perusahaan asal Jerman BASF. Nah, apakah PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel berminat masuk ke proyek tersebut?
Direktur Keuangan Harita Nickel Suparsin Darmo Liwan mengatakan saat ini pihaknya masih fokus pada produksi di pulau Obi. "Kalau kami sebenarnya fokusnya tetap di Pulau Obi. Karena semua fasilitas dan infrastruktur kami ada di sana,dan itu yang masih akan kami maksimalkan," ungkap Suparsin dalam acara Public Ekspose yang dilaksanakan di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (27/06).
Baca Juga: BASF dan Eramet Batal Investasi Hilirisasi Nikel US$ 2,6 Miliar, BKPM Bilang Begini Suparsin bilang, untuk menggarap proyek Sonic Bay, BSAF dan Eramet membutuhkan dana US$ 2,6 miliar untuk kapasitas 72.000 ton nikel. "Sebagai gambaran, saat kami membuat PT Halmahera Persada Lygend (HPAL) itu investasinya sekitar US$ 1,2 miliar untuk kapasitas 55 ribu ton. Jadi kalau mereka melihat ini (Sonic Bay) tidak menarik lagi, mungkin ada benarnya kalau nilai investasinya sebesar itu," tambah Suparsin. Sebagai tambahan informasi, alasan BASF mundur dari proyek ini adalah karena ketersediaan nikel berkualitas baterai secara global telah meningkat. Sehingga tidak perlu lagi investasi besar seperti Sonic Bay di Indonesia. Sedangkan Eramet tidak memberikan alasan spesifik atas pembatalan ini. Soal oversuplay nikel dan perubahan permintaan dunia ini, Direktur Utama Harita Nickel, Roy Arman Arfandy mengatakan, alasan ini tidak sepenuhnya salah namun masih ada harapan dalam penyerapan suplai nikel.
"Kalau soal pendapat nikel tidak menarik lagi dan oversupply, ada sebagian benarnya. Memang kondisi supply-demand dunia terhadap nikel itu ada kondisi oversupply karena adanya peningkatan jumlah produksi yang dihasilkan dari indonesia. Tapi kondisi ini tidak jelek-jelek banget," jelasnya. Ia mencontohkan, kondisi di China dimana stocknya tidak sebanyak perkiraan sebelumnya. Kedua, penyerapan juga bisa berasal dari market yang berbeda. "Secara industri, pengguna terbesar dari feronikel di indonesia adalah stainless steel. Dan ternyata pertumbuhan industri stainless steel di China tahun lalu mencapai 8 persen, jauh lebih tinggi dari estimasi analis-analis di market. Jadi memang masih ada prospek, bahwa oversupply akan menurun," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat