Basuki: Banyak sekali kontrak lucu di Jakarta



JAKARTA. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mempertanyakan kontrak pemerintah Provinsi DKI dengan PT Godang Tua Jaya (GTJ), selaku pengelola tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Bantargebang dan pemenang tender pengelolaan sampah di Jakarta.

Basuki bingung mengapa kontrak kesepakatan mencapai 25 tahun. Menurut Basuki, perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja yang baik dan tipping fee sampah terus bertambah. “Saya enggak tahu kontraknya bisa kayak begitu. Terlalu banyak kontrak 'lucu' di Jakarta ini," kata Basuki di Balaikota Jakarta, Selasa (11/2).

PT GTJ mendapatkan kontrak kerja sama pengelolaan sampah dengan Pemprov DKI selama 25 tahun sejak 2008. Sebelumnya, kontrak Pemprov DKI dengan PT GTJ berlangsung selama 20 tahun. Adanya kontrak yang mengikat itu menyebabkan Pemprov DKI tak bisa memutuskan kerja sama secara sepihak.


Apabila memutuskan secara sepihak, maka DKI bisa dikatakan wanprestasi. Oleh karena itu, ia berencana mencari celah hukum agar kontrak itu dapat diakhiri.

Selama kontrak berjalan, tipping fee atau biaya pembuangan sampah yang harus dibayarkan ke PT GTJ selalu naik. Awalnya dibayarkan sebesar Rp 114.000 per ton, tahun ini naik menjadi Rp 123.000 per ton.

Biaya tipping fee itu di luar biaya angkut yang harus dibayarkan Pemprov DKI melalui Dinas Kebersihan. Biaya pengangkutan juga diserahkan kepada swasta oleh Dinas Kebersihan. Pengangkutan sampah dengan kendaraan tipe kecil seharga Rp 22.393 per ton dan tipe angkutan besar sebesar Rp 167.343 per ton.

Basuki mengatakan, Pemprov DKI justru merugi jika hal itu terus terjadi. Terlebih, lahan pembuangan sampah yang diolah oleh PT GTJ merupakan lahan kepemilikan Pemprov DKI. "DKI rugi loh karena itu tanah kita sendiri, terus kita yang bayar, kan lucu. Tapi ya sudahlah kontrak 25 tahun," kata Basuki.

Dengan kondisi seperti ini, Basuki menengarai selama ini Pemprov DKI Jakarta tidak memiliki truk sampah karena anggarannya habis untuk pembayaran tipping fee ke PT GTJ sebesar Rp 287,8 miliar per tahun, dan biaya pengangkutan sampah oleh swasta mulai dari tingkat kelurahan.

Ia bilang, hingga kini PT GTJ belum dapat membuat teknologi pengelolaan sampah dengan gasifikasi, landfill, and anaerobic digestion (galvad) sesuai perjanjian kontrak. Dalam perjanjian, PT GTJ seharusnya membangun pengelolaan sampah berteknologi galvad dan menjual listrik serta kompos.

Oleh karena itu, Basuki menyebutkan, lebih baik Pemprov DKI membeli lahan sendiri untuk tempat pembuangan sampah akhir dari anggaran pengelolaan sampah mulai dari pengangkutan kelurahan hingga pembuangan ke TPST Bantargebang mencapai Rp 400 miliar setiap tahun.

"Kontrak 25 tahun kok bisa TPST Bantargebang enggak penuh sampah begitu. Kita beli tanah 100 hektar setiap tahun saja," kata Basuki.

Beberapa waktu lalu, DPRD DKI juga pernah meminta Pemprov DKI melakukan audit investigasi di TPST Bantargebang yang dinilai merugikan. Pengelolaan sampah oleh swasta itu dinilai merugikan Pemprov DKI karena sampai sekarang teknologi pengolah sampah menjadi energi yang disebutkan dalam kontrak tidak juga dibangun.

PT GTJ Joint Operation PT Navigat Organic Energy Indonesia tidak menjalankan amanat dalam kontrak dengan Pemprov DKI. Berdasarkan laporan resmi UPT TPST Regional, di tahun 2012 terjadi kegagalan investasi sebesar 130 miliar.

Sejak penandatanganan kontrak pada tahun 2008 hingga kini belum pernah diadakan audit investasi oleh auditor independen. Padahal, audit ini merupakan kewajiban sesuai dengan kontrak perjanjian antara Pemprov DKI dan PT GTJ. (Kurnia Sari Aziza)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri