Batal rights issue, PKPK gagal beli RITS



JAKARTA. Rencana PT Perdana Karya Perkasa Tbk (PKPK) melebarkan sayap ke bisnis pertambangan batubara akhirnya kandas. Pada 19 Februari 2014 lalu, perusahaan tambang ini resmi membatalkan perjanjian jual beli bersyarat atau conditional sales and purchase agreement (CSPA) untuk membeli saham RITS Ventures Limited.

Perusahaan ini adalah pemilik 66,5% saham PT Indowana Bara yang menguasai konsesi izin usaha pertambangan (IUP) seluas 5.000 hektare (ha) di Kutai Barat, Kalimantan Timur. "Kesepakatan PKPK dengan RITS berjangka waktu dan sudah lewat dari jangka waktu yang disepakati," kata Herry Priambodo, Sekretaris Perusahaan PKPK kepada KONTAN, Minggu (23/2).

Pembatalan CSPA tersebut merupakan imbas dari kandasnya rencana penawaran umum terbatas (PUT) 22,65 miliar saham baru PKPK dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Aksi korporasi yang biasa disebut rights issue itu sejatinya sudah diumumkan PKPK sejak kuartal IV 2012.


Harga pelaksanaan rights issue ditetapkan PKPK Rp 250 per saham. Artinya, PKPK mengincar perolehan dana jumbo Rp 5,66 triliun dari rights issue tersebut.

PKPK menggunakan laporan keuangan Maret 2013 sebagai basis pelaksanaan rights issue. Adapun yang bertindak sebagai pembeli siaga rights issue PKPK adalah Fundamental Resources Pte Ltd (Singapura).

Nah, sekitar Rp 5,5 triliun atau 97,12% dana rights issue akan digunakan PKPK untuk mengakuisisi RITS yang menguasai Indowana. Akuisisi ini dinilai strategis lantaran sumberdaya batubara yang dimiliki Indowana terbilang besar, yaitu 433 juta ton dengan kandungan kalori 4.800-5.500 kkal/kg.

Gagal RUPSLB 10 kali

Proses rights issue ternyata menemui jalan terjal. PKPK sudah mengajukan dokumen rights issue sebanyak dua kali ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bahkan, PKPK setidaknya 10 kali gagal menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) untuk meminta persetujuan rights issue.

Namun, hingga laporan keuangan yang dijadikan basis rights issue kadaluarsa pada 30 September 2013, izin efektif rights issue tak kunjung diberikan OJK. "Setelah dua kali filling (mengajukan dokumen rights issue ke OJK) dan tidak efektif, jadi disepakati berakhir (CSPA dengan RITS)," lanjut Herry.

Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI pernah menyatakan, OJK belum memberi restu karena efek dilusi rights issue PKPK yang besar. Saat ini, publik memiliki 41% saham PKPK.

Pemegang saham PKPK yang lain adalah Soerjadi Soedarsono 28%, Fanny Listiawati menguasai 13%, treasury stock 10% dan Henry Satek 8%. Jika pemegang saham melaksanakan haknya dalam rencana rights issue ini, saham publik akan menjadi 46%, Soerjadi Soedarsono 31%, Fanny Listiawati 14% dan Henry 9%.

Tapi, jika seluruh pemegang saham lama tak mengeksekusi haknya, 97% saham PKPK menjadi milik Fundamental Resources Pte Ltd, dan 3% sisanya milik pemegang saham lain.

Kendati kandas, PKPK masih berniat rights issue mengakuisisi perusahaan baru. Namun, RITS sebagai bukan target akuisisi. Herry bilang, PKPK sedang menjajaki perusahaan lain. Perusahaan yang menjadi incaran harus pemegang izin IUP seperti Indowana. "Cadangannya lebih kecil tapi lebih marketable. Pada waktunya akan kami umumkan," jelas Herry.

Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities menilai, rencana akuisisi RITS yang batal menyebabkan PKPK akan kehilangan potensi untuk meraup pendapatan lebih besar di sektor batubara. Sebab, jika hanya mengandalkan bisnis yang selama ini, kinerja keuangan akan makin buruk. Per 30 September 2013, pendapatan usaha PKPK Rp 184,73 miliar, turun 18,74% year-on-year.  

Mayoritas pendapatan PKPK berasal dari jasa konstruksi dan land clearing atau pembebasan lahan, yakni senilai Rp 183,3 miliar. Sementara dari penjualan batubara Rp 1,43 miliar.

"Sebenarnya aksi PKPK dapat menambah pemasukan dari bisnis batubara. Namun, karena batal, hilang potensi pemasukan," ujar Reza. Laba bersih PKPK di akhir kuartal III 2013 tercatat hanya Rp 755,9 juta.             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana