JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali mencetak rekor tertinggi baru di level 4.651,12. Tapi, kenaikan IHSG itu dianggap masih kurang berkualitas. Hal ini karena masih banyak saham-saham emiten yang kurang likuid dan masuk kategori saham tidur. Kalau likuiditas seret di pasar, dikhawatirkan menjadi risiko yang besar bagi investor. Karena kondisi tersebut, Bursa Efek Indonesia (BEI) akan mengatur mengenai jumlah saham beredar di masyarakat. Aturan ini akan dimulai dengan menambah porsi saham saat pelepasan perdana atau initial public offering (IPO). Hoesen, Direktur Penilaian Perusahaan BEI mengatakan, saat ini BEI masih menggodok aturan tersebut. Rencananya, tahun ini aturan itu sudah bisa terbit. Sebagai catatan, saat ini minimum jumlah saham yang dilepas ke publik pada saat IPO adalah sebesar 10% dari total modal disetor.
"Kami akan buat peraturan untuk meningkatkan likuiditas saham di pasar. Misalnya, yang IPO akan dinaikkan jumlah yang dilepas, namun angkanya masih dikaji," jelas Hoesen, Jumat (22/2). Setelah pencatatan terkadang jumlah kepemilikan saham di publik terus menurun karena berbagai aksi korporasi yang dilakukan emiten. BEI ingin, emiten tetap bisa menjaga presentase jumlah saham publik (floating share) di pasar lebih dari 10%. "Nanti akan dinaikkan minimumnya. Emiten harus menjaga jumlah saham yang beredar di publik," papar Hoesen. BEI akan menyurati emiten-emiten yang sahamnya kurang likuid ini dan mendorong melakukan aksi korporasi baru untuk menambah saham baru. Banyak saham emiten yang masih berada di level harga terendah yaitu Rp 50 per saham. Diantaranya, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI), PT Truba Manunggal Engineering Tbk (TRUB), dan PT Asia Natural Resources Tbk (ASIA). Ada pula saham yang jarang ditransaksikan dan tidak bergerak seperti saham PT Batavia Prosperindo Finance Tbk (BPFI). BPFI masih bertengger di Rp 185 sejak jatuh ke bawah menyentuh level terendah pada bulan September di level Rp 151. Pergerakan saham BPFI mandek dan jarang ditransaksikan. Saham milik PT Argo Pantes Tbk (ARGO) juga bisa dibilang kategori saham tidur yang tidak likuid. Harga saham ARGO masih bertahan di Rp 1.000 sejak April 2012. Saham tidur Ketua Asosiasi Analis Efek (AAEI) Haryajid Ramelan mengatakan, dari sekitar 454 emiten, lebih dari 50% saham tergolong tidak likuid. "Indeks saham yang diatur BEI, seperti Kompas100, LQ45, itu menandakan saham-saham tersebut likuid," jelas dia, Jumat (22/2). Artinya, Haryajid bilang, banyak saham yang tidak masuk kategori saham likuid. "Saham yang tidak likuid itu paling untuk digoreng saja," kata dia. BEI saat ini juga sedang gencar mendorong emiten menerbitkan saham baru. Bisa dengan private placement atau rights issue. Edwin Sebayang, Kepala Riset MNC Securities mengatakan, secara ideal, jumlah floating share yang ada di pasar minimal sebesar 40%. Namun, jumlah ini sebenarnya akan sulit diatur karena akan bergantung dengan volatilitas di bursa. Menurut Edwin, tak hanya menambah jumlah saham beredar. BEI juga harus menambah jumlah pilihan saham dengan cara IPO untuk memenuhi permintaan investor yang meningkat.
Isakayoga, Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) mengatakan, pihaknya juga ikut mendorong perusahaan mencari dana di pasar modal. Dia bilang, kenaikan IHSG saat ini masih kurang berkualitas karena hanya digerakkan oleh performa saham tertentu. Nilai kapitalisasi pasar pun masih agak lambat. Menurut Isakayoga, banyak emiten yang IPO hanya sekedar mencari dana sesaat, namun kemudian sahamnya dibiarkan terdiam. "Kalau tidak diimbangi risikonya cukup besar," ujar Isakayoga. BEI sendiri menargetkan tahun ini bisa mendapatkan 30 emiten baru dan 150 emiten baru hingga tahun 2017 mendatang. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana