Batik Laweyan: Berjaya setelah jadi ikon wisata



Kampung Batik Laweyan merupakan salah satu sentra kerajinan batik yang cukup kesohor di daerah Solo, Jawa Tengah. Konon, sentra batik terbesar di Solo ini sudah ada sejak 350 tahun silam.

Saat ini, terdapat ratusan perajin yang memproduksi batik dengan aneka motif secara turun temurun. Sebagai generasi penerus, mereka kini terobsesi untuk mengembalikan Laweyan seperti masa kejayaannya di tahun 1900-an.

Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperkenalkan kembali ini sentra ini ke khalayak ramai. Salah satunya dengan menobatkan Kampung Batik Laweyan sebagai ikon pariwisata Kota Solo.


Upaya itu tidak sia-sia. Terbukti, dalam beberapa tahun terakhir, Kampung Batik Laweyan kembali berjaya. Saat KONTAN mengunjungi sentra ini, beberapa waktu lalu, tampak banyak wisatawan berkunjung ke Laweyan.

Selain belanja batik, banyak dari wisatawan itu memanfaatkan kunjungannya untuk belajar membatik langsung dari para perajin. Aktivitas itu terlihat di salah satu bengkel batik bernama Omah Laweyan.

Selain sebagai bengkel produksi, Omah Laweyan juga berfungsi sebagai toko. Tampak luar, toko ini tetap mempertahankan kekhasan bangunan zaman dulu, dipadu dengan sentuhan modern di bagian dalam.

Di teras toko, nampak beberapa pembatik tengah sibuk menggoreskan canting ke atas kain dengan motif batik. Beberapa pengunjung terlihat antusias memperhatikan proses pembuatan batik tersebut.

Pengunjung lainnya ada pula yang sibuk melihat-lihat ke dalam toko, dan memborong beberapa kain batik maupun suvenir khas Solo. Pemilik Omah Laweyan, Heru Cahyono mengakui, sentra Laweyan kini mulai kembali ramai dikunjungi. "Memang harapan kami, ke depan Laweyan bisa menjadi maskot kota Solo," ujar Heru.

Sejak ramai wisatawan berkunjung, ia mengaku penjualan batiknya terus meningkat. Setiap bulan, rata-rata ia bisa menjual hingga ratusan kain batik. Omah Laweyan kebanyakan menjual batik tulis dengan harga mulai dari Rp 400.000 hingga Rp 14 juta per lembar. Di luar itu, ada pula penjualan batik print atau cetak, aneka kaos khas Solo, dan suvenir.

Diperkirakan, omzet Omah Laweyan bisa mencapai ratusan juta rupiah setiap bulannya. Menurut Heru, kembali berjayanya Kampung Laweyan merupakan kerja keras berbagai pihak.

Salah satu yang berjasa adalah Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL). Forum ini merupakan gabungan dari para pengusaha batik. "Tadinya satu kampung Laweyan ini pembatik, tapi di tahun 2000-an pengusaha yang tersisa tinggal 16 saja, hampir punah" ujar Humas sekaligus Kepala Divisi IT PKBL, Arif Budiman Effendi.

Prihatin melihat kondisi itu, pada September 2004 mereka pun mendirikan FPKBL. Sejak dibentuk, forum ini fokus mengembangkan Laweyan. Untuk itu, mereka pun gencar melakukan sinergi dengan berbagai pihak.

Salah satunya dengan pemerintah setempat dengan mencanangkan Laweyan sebagai tempat wisata. Para pengusaha juga terus berupaya melestarikan tradisi pembuatan batik dengan mengembangkan sumber daya manusia.

Selain menggandeng pemerintah, mereka juga gencar menjalin kerja sama dengan pengelola hotel di Solo untuk memperkenalkan Laweyan. Dalam kerjasama ini, pengusaha batik Laweyan menyediakan sarana transportasi gratis dari hotel ke Kampung Laweyan. "Mereka bisa telepon, kami segera antar-jemput dari hotel ke tempat kami, gratis," ujar Heru.

Laweyan sebagai ikon pariwisata Solo, sukses bukan hanya karena tradisi batiknya. Tapi juga karena Laweyan memiliki aset cagar budaya dari segi bangunannya. Banyak rumah atau toko milik pengusaha batik di kampung ini bergaya kuno dan dibiarkan seperti aslinya.

Mayoritas bangunannya merupakan perpaduan gaya Jawa dan Eropa tempo dulu. Wisata edukasi pun dikembangkan di tempat ini. "Sudah banyak para siswa sekolah dan mahasiswa, mulai dari S1 sampai S3 yang mengadakan penelitian di Laweyan. Semua kami sambut dan kami layani dengan baik," ujar Arif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri