Batubara kelam, proyek listrik lebih terang



JAKARTA. Tahun ini, industri batubara belum menunjukan tanda-tanda berbalik arah. Harga jual tetap stagnan dan terjadi penurunan permintaan global. Alhasil, kinerja PT Adaro Energy Tbk (ADRO) diperkirakan tertekan.

Analis Mandiri Sekuritas Ariyanto Kurniawan mengatakan, resiko penurunan permintaan ekspor batubara dan rendahnya rata-rata harga jual tetap akan terjadi. Ini menyebabkan batubara kelebihan pasokan.

Arandi Arianta, analis Bahana Securities, memprediksi, average selling price (ASP) atawa rerata harga jual batubara tahun 2016 turun 13% (yoy) atau menjadi US$ 50 per metrik ton. Menurut Arandi, satu-satunya cara mengembalikan harga batubara adalah membaiknya ekonomi dunia.


Karena, ketika ekonomi membaik, maka konsumsi energi juga akan membesar. Sejumlah konsumen batubara dunia seperti China, kini sudah mulai mengurangi konsumsi. Jika ekonomi Negeri Panda itu kembali ke puncak kejayaan, dipastikan permintaan batubara naik dan mengerek harga jual.

Atas dasar tersebut Arandi memprediksi, tahun ini ADRO mencatat pendapatan sekitar US$ 2,39 miliar. Angka ini turun 8% ketimbang pendapatan tahun 2015 yang mencapai US$ 2,6 miliar.

Dampaknya, laba bersih ADRO tahun ini diprediksikan hanya US$ 126 juta. Tahun lalu, emiten tambang batubara ini mencatatkan laba sebanyak US$ 152 juta. Mengalihkan bisnis Sadar akan hal tersebut, ADRO mulai banting setir, menjadi produsen energi, melalui proyek pembangkit listrik.

Salah satu yang terbesar di Batang, Jawa Tengah, berkapasitas 5.000 MW. Langkah ini dinilai positif. Dengan adanya power plant, ADRO memiliki anchor buyer batubara yang diproduksi sendiri. Sehingga, ketika harga batubara global rendah, batubara ADRO bisa untuk menjalankan pembangkit listrik tersebut.

Sayangnya, mega proyek ini ditargetkan baru dapat beroperasi tahun 2018-2019. Sehingga, hasil positif dari pembangunan pembangkit listrik belum bisa dirasakan dalam waktu dekat. Selain itu, shifting atau tren perubahan penggunaan sumber energi juga sudah mulai berubah.

"Perlahan industri mulai menggunakan tenaga air dan angin yang lebih ramah lingkungan sebagai sumber energi pembangkit listrik," tutur Arandi, Rabu (16/3).

Analis Phillip Securities Destya Faishal dalam riset 15 Maret lalu menjelaskan, saat power plant ADRO beroperasi, 40% pendapatan perusahaan akan berasal dari bisnis pembangkit listrik. Sementara, bisnis produksi batubara dan logistik masing-masing menyumbang 30%.

Artinya, akan ada perubahan portofolio pendapatan ADRO yang selama ini banyak berasal dari bisnis batubara menjadi bisnis power plant. "Tapi, ini untuk lima tahun ke depan," imbuhnya.

Mengacu pada pencapaian ADRO, Ariyanto masih mempertahankan rekomendasi neutral dengan target harga Rp 700 per saham. Arandi menurunkan rekomendasinya, dari semula buy menjadi hold, dengan target harga yang juga lebih rendah, dari Rp 700 per saham menjadi Rp 645 per saham. Destya merekomendasikan sell dengan target Rp 575 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie