Batubara terkoreksi, masih dipicu sentimen China



JAKARTA. Harga batubara kembali diliputi sentimen negatif dari China. Dalam jangka panjang, kebijakan pemerintah China masih menjadi faktor utama penggerak harga.

Mengutip Bloomberg, Senin (24/1) harga batubara kontrak pengiriman Juni 2017 di ICE Futures Exchange melemah 1,7% ke level US$ 78,65 dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir batubara tergerus 2,5%.

Wahyu Tribowo Laksono, Analis PT Central Capital Futures mengatakan, batubara belum bisa mengandalkan angka permintaan untuk mendorong kenaikan harga. Batubara jenis coking coal kembali anjlok meski sebelumnya sempat terbang dengan sokongan badai di Australia.


Sementara untuk batubara biasa jenis thermal coal, kebijakan dari China masih menjadi alasan pelemahan harga. "Juga faktor musim yang membuat pasokan saat ini meningkat di saat permintaan melambat," paparnya.

Harga batubara kembali jatuh di sepanjang tahun 2017 setelah China mengatakan akan melonggarkan kebijakan pada tambang batubara. Sebelumnya China membuat kebijakan pembatasan produksi yang berhasil mengangkta batubara dari level terendahnya.

Tetapi saat ini angka permintaan untuk komoditas secara keseluruhan sedang rendah. Pasokan dari China dan beberapa produsen lain bahkan diperkirakan bertambah pada semester kedua.

Meski bukan faktor utama, penghentian impor India menambah sentimen negatif bagi harga batubara. India meningkatkan produksi batubara dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Pada bulan Januari lalu, Menteri Energi India menyatakan akan menghentikan impor batubara dalam beberapa tahun ke depan. "Namun kecemasan ini belum tentu membuat harga batubara anjlok seperti tahun 2016 dan sebelumnya," imbuh Wahyu.

Negara China masih memainkan sentimen utama. Menurut Wahyu, China akan kembali memberlakukan pembatasan hari kerja perusahaan tambang jika harga batubara terus melemah. Permintaan batubara domestik China juga akan meningkat dengan dorongan sektor industri pembangkit listrik.

Harga batubara memang rentan terkoreksi. Tetapi Wahyu melihat outlook harga dalam jangka panjang masih belum berubah, yakni cenderung stabil di kisaran US$ 80 per metrik ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto