Bau politik kerdilkan efek APBN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dana di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 jauh lebih besar dibandingkan tahun ini. Namun, daya dorong belanja negara terhadap pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan melemah. Pasalnya, RAPBN 2018 yang tengah dibahas antara pemerintah dengan DPR saat ini dinilai populis dan mengakomodasi kepentingan politik menjelang pemilihan Presiden (Pilres) 2019 mendatang.

Hasil kajian Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menyatakan siklus politik anggaran (political budget cycle) kembali terlihat jelas dalam penyusunan RAPBN 2018. Dana-dana yang mendongkrak citra baik pemerintah, yakni belanja sosial meningkat pesat.

Berdasarkan Nota Keuangan RAPBN 2018, alokasi anggaran untuk pos belanja perlindungan sosial mencapai Rp 161,96 triliun, naik tipis dari tahun 2017 yang diperkirakan teralisasi Rp 159,99 triliun. Namun, anggaran di Kementerian Sosial (Kemsos) meningkat pesat hampir dua kali lipat dari Rp 17,23 triliun menjadi Rp 33,96 triliun.


Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan, terdapat pola yang sama antara RAPBN 2018 dengan APBN pada pemilu 2009 dan 2014, belanja sosial meningkat. APBN 2009 belanja bantuan sosial Rp 73,6 triliun, melonjak 27,8% dibanding tahun sebelumnya. Demikian juga pada APBN 2013, satu tahun menjelang Pilpres, belanja bantuan sosial naik 21,8% dibanding tahun sebelumnya menjadi Rp 96,6 triliun.

Menjelang Pilpres 2019, belanja bantuan sosial "curi start" sejak APBN-P 2017, yaitu naik 16,8% dibanding APBN-P 2016. Lalu belanja bantuan sosial di RAPBN 2018 naik 1,3%. "Meski pertumbuhannya lebih rendah dari tahun 2017, share belanja perlindungan sosial di RAPBN 2018 mencapai 11,2% dari total belanja. Tertinggi ketiga setelah belanja fungsi pelayanan umum dan ekonomi," kata Enny saat memaparkan hasil kajian, Rabu (18/10).

Rayuan pemerintah di kalangan masyarakat bawah juga terlihat dari meningkatnya jumlah rumah tangga sasaran (RTS) penerima Program Keluarga Harapan (PKH) menjadi 10 juta rumah tangga pada tahun depan. Padahal, penerima PKH tahun ini hanya sebesar 6 juta rumah tangga. "Kenapa kami nyatakan RAPBN 2018 itu populis, karena itu terlalu berorientasi jangka pendek," tambah Enny.

Dibutuhkan masyarakat

Seharusnya RAPBN 2018 didesain untuk mendorong sektor pengeluaran yang berkontribusi 80% terhadap Produk Domestik Bruto (PRB). Sektor yang dimaksud, yakni sektor konsumsi rumah tangga dengan kontribusi ke PDB sekitar 56% dan dan sektor investasi dengan kontribusi ke PDB sekitar 30%. "Kalau pemerintah kerja cerdas, bagaimana postur belanja dan penerimaan diorientasikan untuk sektor yang berkontribusi 80% ke PDB maka sebetulnya malah akan mampu akan mencapai target-target asumsi-asumsi makro," jelas Enny.

Indef meyakini pemerintah akan kembali gagal mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4%. Perhitungan Indef, laju ekonomi hanya akan mencapai 5%.

Direktur Penelitian Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal pun khawatir, pengaruh belanja negara tahun depan tak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dikhawatirkan juga, pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosial juga tak efektif, meski bantuan sosial meningkat.

Pasalnya, peningkatan anggaran bantuan sosial tak diikuti dengan perbaikan basis data. Dalam praktik di lapangan, sering kali bantuan sosial salah sasaran.

Direktur Anggaran Kementerian Keuangan Askolani membantah penyusunan RAPBN bermuatan politis. Penyusunan RAPBN 2018 sudah berdasarkan secara tehnokratik dan profesional, serta konsisten dengan rencana pembangunan tahunan maupun jangka menengah serta Nawa Cita yang diusung Presiden Joko Widodo. "Bantuan sosial dibutuhkan masyarakat dan ini kewajiban negara," tandasnya,

Menurut Askolani, kenaikan belanja sosial 2018 utamanya disebabkan oleh penambahan PKH. Ini demi menjangkau lebih banyak masyarakat kurang mampu, yang layak mendapat bantuan. Bantuan sosial juga naik akibat pengalihan subsidi beras sejahtera (Rastra) ke bantuan non tunai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia