KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyesalkan berkurangnya porsi bauran energi terbarukan dari 21.000 MW menjadi 14.000 MW dalam Rancangan RUPTL 2018-2027. Menurut IESR, pengurangan bauran energi terbarukan dengan alasan terjadinya penurunan proyeksi permintaan listrik dinilai tidak tepat. Sebaliknya, penurunan permintaan listrik justru harus diantisipasi dengan mengurangi PLTU batubara dan menambah PLT Gas dan Pembangkit energi terbarukan. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif menilai dengan memprioritaskan pembangunan PLTU, PLN justru memperbesar eksposure risikonya. Menurutnya, biaya investasi pembangkit terdistribusi seperti sel surya dan baterai penyimpan membuat teknologi ini berpeluang menjadi
disruptive technology untuk pembangkit skala besar seperti PLTU.
“Teknologi
solar rooftop dan baterai dapat menjadi ancamanan bagi PLN. Aplikasinya di skala rumah tangga dan komersial dengan harga yang kompetitif dalam 5-10 tahun mendatang dapat memangkas kebutuhan dan permintaan listrik pelanggan rumah tangga dan komersial dari PLN. Akibatnya kapasitas PLTU yang terbangun akan
idle,“ kata Fabby melalui siaran persnya, Jumat (23/2). Faktor lain yang perlu dipertimbangkan, kata Fabby, adalah menurunnya pertumbuhan permintaan listrik sejak 2013 dapat berlanjut di tahun-tahun mendatang. Penurunan pertumbuhan ini terjadi karena terjadi efisiensi pada sisi pelanggan listrik dan berkurangnya penggunaan listrik dari segmen konsumen industri akibat relokasi, efisiensi mesin, dan pengurangan volum produksi. “Memang tidak mudah memperkirakan beban listrik dalam 5-10 tahun mendatang karena faktor-faktor penentunya sangat dinamis dan sukar ditebak," kata Fabby. Menurutnya, profil permintaan listrik saat ini tidak sama dengan 10-15 tahun lalu. Saat itu kebutuhan listrik naik pesat diatas laju pertumbuhan ekonomi. Saat ini laju pertumbuhan listrik sudah di bawah laju pertumbuhan ekonomi, dan kemungkinan tren ini akan terus berlanjut. "Jika ini terjadi, maka risiko terjadinya
over supply pembangkit cukup tinggi," ungkap Fabby. Fabby bilang, dengan pasokan yang berlebih pembangkit yang dibangun oleh PLN dan swasta (IPP) dapat memicu terjadinya
stranded asset (aset mangkrak), karena kapasitas yang sudah dibangun tidak dibeli listriknya oleh pelanggan PLN. Dampaknya adalah beban keuangan yang harus ditanggung oleh PLN dan IPP meningkat, dan dapat memicu kerugian finasial PLN. Risiko peningkatan biaya pembangkitan listrik akibat kenaikan biaya energi primer, khususnya batubara dan BBM, seperti yang terjadi saat ini pada PLN, sesungguhnya dapat dimitigasi dengan membangun lebih banyak pembangkit energi terbarukan yang biaya listriknya tidak terpengaruh harga bahan bakar. Dengan demikian konsumsi energi primer dapat dikurangi secara perlahan. Menurut IESR, pembangunan pembangkit energi terbarukan skala besar di sistem Jawa-Bali secara teknis dimungkinkan, asalkan PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) bisa keluar dari dogma perencanaan listrik yang konvensional dengan memberi ruang penetrasi energi terbarukan yang lebih besar. Walaupun biaya teknologi energi terbarukan di dunia turun drastis dalam sepuluh tahun terakhir, biaya investasi energi terbarukan di Indonesia masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena faktor risiko yang masih dinilai tinggi dan mempengaruhi bankability project, tingginya biaya pengadaan lahan, dan suku bunga domestik. Dari pengalaman negara lain, biaya investasi akan turun seiring dengan peningkatan kapasitas pembangkit energi terbarukan. Oleh karena itu, pembangunan pembangkit energi terbarukan yang bersifat intermittent seperti surya (PLTS dan
rooftop solar) dan bayu perlu ditingkatkan hingga 1000-2000 MW untuk membuat biaya investasi turun. Menurut kajian dari International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi pembangkit energi terbarukan yang dapat dibangun di Indonesia mencapai 7 GW per tahun sampai 2030, 3,1 GW diantaranya adalah teknologi PLTS dan rooftop.
Pendekatan dan strategi inilah yang tidak tampak dalam penyusunan RUPTL 2018-2027. Menteri Jonan berkali-kali mendesak harga listrik energi terbarukan turun, bahkan lebih murah daripada harga listrik PLTU tetapi sejauh ini pemerintah tidak memiliki kerangka kebijakan yang komprehensif dan strategi yang terarah dan terukur bagaimana mencapai harga energi terbarukan yang lebih kompetitif. Yang terjadi adalah Menteri ESDM justru membuat aturan yang menghambat investasi energi terbarukan melalui penerbitan Permen ESDM No. 50/2017. IESR mendesak agar Kementerian ESDM dan PLN mempertimbangkan ulang upaya mengurangi porsi energi terbarukan dalam RUPTL, selain dapat meningkatkan risiko PLN jangka panjang juga akan semakin memperburuk persepsi risiko dan investasi energi terbarukan di Indonesia. “Investor akan memandang bahwa pemerintah Indonesia plin-plan, karena tidak konsisten dengan target yang dibuat sendiri, yaitu 23% bauran energi terbarukan pada 2025. Selain itu pemerintah juga bakal dinilai tidak memiliki komitmen untuk berkontribusi pada upaya penurunan emisi gas rumah kaca global, sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo tahun 2015 lalu. Menteri ESDM yang akan mengesahkan RUPTL harus memahami konsekuensi persepsi investor di bidang energi yang semakin negatif,” kata Fabby. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi