JAKARTA. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengaku sulit menyeret pelaku politik uang (money politics) dalam pemilihan kepada daerah ke meja hijau. Ketua Bawaslu Muhammad beralasan, perundang-undangan yang berlaku belum bisa menjerat pelaku politik uang.Muhammad menilai, definisi politik uang dalam aturan yang berlaku tidak jelas cakupannya. Karena itu, dia mengusulkan definisi politik uang tersebut harus diperjelas kembali.Dalam pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah definisi politik uang disebutkan pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian ayat (2) disebutkan pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD."Definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya politik uang terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye," ujar Muhammad dalam diskusi Transaksi Pilkada, Pangkal Kebijakan Publik yang Tidak Pro Rakyat, Jumat (22/7).Dia mengatakan, banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan sulitnya sumber dana kampanye dilacak oleh komisi pemilihan umum daerah (KPUD). Terlebih lagi, lanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD.Karena itu, lanjut Muhammad, cara lain yang dapat digunakan dalam hal menyikapi maraknya politik uang dalam pemilihan kepala daerah adalah dengan memaksimalkan fungsi dan kewenangan pengawas pemilu.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Bawaslu sulit menjerat pelaku politik uang
JAKARTA. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengaku sulit menyeret pelaku politik uang (money politics) dalam pemilihan kepada daerah ke meja hijau. Ketua Bawaslu Muhammad beralasan, perundang-undangan yang berlaku belum bisa menjerat pelaku politik uang.Muhammad menilai, definisi politik uang dalam aturan yang berlaku tidak jelas cakupannya. Karena itu, dia mengusulkan definisi politik uang tersebut harus diperjelas kembali.Dalam pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah definisi politik uang disebutkan pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian ayat (2) disebutkan pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD."Definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam kenyataannya politik uang terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada partai politik hingga ke masa kampanye," ujar Muhammad dalam diskusi Transaksi Pilkada, Pangkal Kebijakan Publik yang Tidak Pro Rakyat, Jumat (22/7).Dia mengatakan, banyaknya aturan yang belum lengkap mengenai dana kampanye mengakibatkan sulitnya sumber dana kampanye dilacak oleh komisi pemilihan umum daerah (KPUD). Terlebih lagi, lanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tidak memberikan sanksi kepada calon kepala daerah yang tidak memberikan laporan sumber dana kampanye kepada KPUD.Karena itu, lanjut Muhammad, cara lain yang dapat digunakan dalam hal menyikapi maraknya politik uang dalam pemilihan kepala daerah adalah dengan memaksimalkan fungsi dan kewenangan pengawas pemilu.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News