BBM naik, rakyat miskin semakin susah beli rumah



JAKARTA. Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bakal menghantam seratus juta rakyat miskin dan hampir miskin. Mereka akan semakin mengalami kesulitan untuk membeli dan memiliki rumah. Pasalnya setiap Rp 1.000 kenaikan harga BBM, memicu inflasi 0,5% yang berakibat seluruh harga komoditas, termasuk material bangunan juga melejit. Pada gilirannya, harga rumah pun ikut terdongkrak naik. Ekonom Perbanas, Aviliani, mengemukakan pendapatnya terkait dampak kenaikan BBM terhadap daya beli masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan sektor perumahan kepada Kompas.com, Selasa (2/9). "Kenaikan harga BBM akan sangat terasa oleh MBR yang jumlahnya seratus juta itu, bukan oleh masyarakat kelas menengah atas. Kelas mereka tidak terlalu berpengaruh. Sejauh demand-nya tinggi, terlebih investor asing banyak yang masuk, tidak akan menurunkan pasar properti di segmen ini," jelas Aviliani. Dia melanjutkan, potensi pasar kelas menengah atas yang sanggup membeli rumah dengan harga Rp 3 miliar ke atas tidak akan berkurang. Sebaliknya, potensi pasar menengah ke bawah justru akan tergerus signifikan. Terlebih ada kebijakan pemerintah yang mengharuskan pengembang membangun sebanyak 20% rumah untuk MBR. "Itu yang memberatkan, karena demand jadi turun. Harga menjadi tidak terjangkau MBR, cicilan KPR-pun membengkak. Sementara pengembang yang telanjur berproduksi kesulitan menjual rumahnya," tambah Aviliani. Terbukti, sejumlah pengembang sudah memasang strategi penetapan harga menyambut kenaikan BBM nanti. Relife Property Group, contohnya. Pengembang ini akan menaikkan harga jual rumahnya sekitar 10% hingga 20%. Sementara PT PP Properti akan meningkatkan harga jual propertinya di kisaran 5% hingga 15%. Demikian halnya dengan PT Wika Realty yang mematok harga 10% hingga 15% lebih tinggi. Pengadaan tanah Aviliani menegaskan, agar masalah perumahan tidak sampai berlarut pemerintah seharusnya mengatasi masalah pengadaan lahan. Sehingga pengembang yang membangun rumah layak dan terjangkau tidak terbebani dengan harga lahan tinggi. "Perumnas seharusnya dikembalikan kepada fungsi awalnya sebagai penyedia perumahan nasional murah dan layak huni. Pemerintah juga harusnya melakukan inventaris lahan menurut lokasi yang bisa dibangun rumah murah," tandas Aviliani. Selain mengenai pengadaan lahan, Aviliani juga menyoroti Bank Indonesia (BI) yang hingga kini belum juga mengoreksi suku bunga acuan 7,5%. Sebaiknya suku bunga diturunkan dulu agar target menjadi 6,5% hingga akhir tahun bisa tercapai. Lagipula sekarang adalah momentum terbaik untuk menurunkan suku bunga. "Sekarang tendensinya justru naik. Pasalnya suku bunga The Fed naik. Nah BI ikut The Fed. Jika ini terjadi suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bisa ikut terkerek, sekitar 50 basis poin atau satu persen. Cicilan yang tadinya flat dua tahun bakal melonjak jika KPR naik," pungkas Aviliani. (Hilda B Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan