BCA: Likuiditas ketat, bank tak bisa pacu kredit



JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sinyal bahwa kondisi likuiditas perbankan masih seret. Pasalnya kesenjangan jumlah nilai dana pihak ketiga (DPK) terhadap nilai kredit terus kejar-kejaran, sehingga ruang untuk penyaluran kredit cukup ketat.

Pengetatan likuiditas tercermin dari kenaikan rasio pinjaman terhadap simpanan atau loan to deposit ratio (LDR). Misalnya, per Desember 2014, rasio LDR bank mencapai 89,42% dengan DPK Rp 4.114 triliun dan kredit Rp 3.706 triliun. 

Sedangkan, dua tahun lalu sebelumnya, seperti per Desember 2012, rasio LDR bank masih level 83,58% dengan DPK Rp 3.225 triliun dan kredit Rp 2.725 triliun. Dan per Desember 2011, rasio LDR bank sebesar 78,58% denga DPK Rp 2.784 triliun dan kredit Rp 2.200 triliun.


Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BBCA) Tbk, Jahja Setiaatmadja mengakui bahwa likuiditas yang ada di masyarakat sangat terbatas saat ini. Sehingga, perbankan pun tidak dapat memicu pertumbuhan kredit melebihi kemampuan pertambahan likuiditas yang terbatas. 

Hal ini, kata Jahja menyebabkan persediaan likuiditas dan permintaan kredit menjadi tidak seimbang. Nah, jika itu terjadi, maka tentu mengakibatkan terjadinya kenaikan tingkat suku bunga. "Karena perbankan tentu mengejar dana pihak ketiga," ucap Jahja di Jakarta, Rabu (18/3).

Karena itu, menurut Jahja, pertumbuhan kredit industri perbankan Tanah Air diperkirakan akan berada pada kisaran 15% sampai dengan 17%, sesuai arahan Bank Indonesia. Jahja bilang, industri perbankan Indonesia saat ini belum akan sanggup memacu pertumbuhan kredit seperti tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 20%.

"Untuk sekarang kalau kredit dipacu harus 20%, likuiditasnya tidak bisa menunjang," jelas Jahja.

Faktor perlambatan kredit dan ketatnya likuiditas ini, secara tidak langsung juga diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Sebab, dengan penguatan nilai tukar dollar AS ini, maka mengakibatkan naiknya sejumlah bahan baku impor.

Hal ini tentu mempengaruhi harga pokok produksi dan harga penjualan produk yang akan naik. Jika daya beli masyarakat kurang karena ketatnya likuiditas, maka produsen harus mengurangi volume penjualan. Karena, jika harga melambung tentu penjualan akan berkurang.

"Kalau kemampuan masyarakat untuk membeli produk berkurang, ini bisa menyebabkan pertumbuhan kredit menjadi melemah karena kapasitas produksi yang diturunkan. Modal kerja juga jadi lebih sedikit diperlukan. Jadi saya yakin kredit thaun ini meski lebih baik dibanding tahun 2014, tapi tidak akan sebaik tahun 2012, 2013, dengan pertumbuhan kredit mencapai 20%-25%. Saya kira tahun ini mungkin berkisar 15%-16%," ujarnya.

Catatan saja, berdasarkan kajian OJK, semakin kesini kesenjangan DPK dengan kredit makin kecil sehingga kredit tidak bisa tumbuh cepat, karena bank harus melakukan pencadangan dari sebagian dana DPK tersebut, misalnya 12% untuk secondary reserve dan 5% untuk giro wajib minimum (GWM).

Untuk mencapai target kredit sebesar 16,43% maka bank diminta untuk tidak hanya mengandalkan penghimpunan dana dari masyarakat, mereka harus mencari alternatif pendanaan lain. OJK mendorong bank-bank mencari dana dari penerbitan surat berharga. 

Cara lain bagi bank yang mempunyai induk (parent) di luar negeri dapat meminta sang induk melakukan penempatan dana di sini karena lebih murah dibandingkan mereka meminjam dana ke bank luar negeri. Atau bank yang belum go public dapat mencari dana melalui initial public offering (IPO).

OJK bahkan mendorong rencana perluasan definisi deposito untuk harus segera terealisasi. Karena aturan ini akan membantu bank-bank untuk menjaga kestabilan rasio dana dengan kredit. OJK mengusulkan kepada Bank Indonesia (BI) agar perluasan dana tidak hanya sebatas penerbitan surat berharga, namun pinjaman antar bank, pinjaman dari luar negeri, dan suntikan modal dari induk termasuk perluasan deposito. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa