Bea Cukai cekal 20 eksportir bandel



JAKARTA. Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) unjuk gigi. Mereka sepakat memberi sanksi ke 20 eksportir bandel yang enggan membawa pulang devisa hasil ekspornya.

Lewat Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai, Kemkeu menangguhkan izin ekspor 20 perusahaan bandel tersebut. "Atas permintaan BI, kami tidak melayani dokumen ekspor mereka," tandas Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung  Kuswandono.

Bungkam menyebut nama-nama para eksportir itu, Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI Hendy Sulistiowati menambahkan, eksportir bandel ini datang dari berbagai sektor usaha. "Ada dari sektor manufaktur, pertambangan, pertanian, dan lain-lain," ujarnya Selasa (12/2).


Para eksportir bandel itu kini tidak bisa mengirim barang hasil bumi Indonesia, tambang, produknya ke luar negeri. Izin ekspor baru akan dibuka setelah mereka menyelesaikan kewajibannya membawa valas hasil ekspornya ke Indonesia serta  membayar denda.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/25/PBI/2012 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri menyebutkan, eksportir yang bandel harus membayar denda 0,5% dari hasil ekspor yang belum masuk ke Indonesia.

Pencabutan sanksi larangan ekspor akan dibuka Ditjen Bea Cukai setelah eksportir bandel itu menaati seluruh aturan  tersebut.  Dalam hitungan pemerintah, jika semua eksportir patuh, pasokan valas  yang masuk ke Indonesia 2012 bisa mencapai US$ 153 miliar. Khusus dari sektor migas, bisa mencapai US$ 4,37 miliar.

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menegaskan,  PBI devisa hasil ekspor berlaku untuk semua eksportir, baik lokal maupun asing. "Itu aturan untuk Republik Indonesia! Bukan untuk kepentingan BI," tegas Halim.

Mulai berlaku sejak pertengahan tahun 2012, aturan itu memberikan pengecualian bagi para perusahaan migas  untuk melaporkan devisa hasil ekspor. Kewajiban bagi perusahaan migas baru berlaku mulai akhir Juni 2013. 

Saat ini, sejatinya banyak eksportir yang membawa pulang valas hasil ekspornya, termasuk pengusaha minyak dan gas. "Aturan ini lebih baik ketimbang pembayaran dengan letter of credit (L/C)," terang Jeffry Mulyono, pengusaha yang juga mantan ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI). 

Hanya segelintir kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas seperti  Chevron Pacific Indonesia yang keberatan membawa valas masuk dengan alasan valas itu hasil penjualan migas yang menjadi hak Chevron. "Masak, migas yang menjadi hak kami, hasil penjualannya harus ditransfer dulu ke bank domestik," tandas  Yanto Sianipar, Vice President Policy Government and Public Affairs Chevron.

Chevron meminta BI menghormati kontrak itu.  Bila tak  ada titik temu, Chevron siap membawa ke arbitrase.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.