Beban baru pebisnis di depan mata



Sebelumnya: Era baru sertifikasi halal

Nada suara Danang Girindrawardana meninggi di ujung sambungan telepon, Rabu (7/3) lalu. Dengan suara gamblang, Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini terang-terangan menolak kewajiban sertifikasi halal, yang kalau tidak ada aral melintang berlaku tahun depan.

Kewajiban sertifikasi halal bagi produk barang dan jasa ini merupakan perintah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Beleid ini mengamanatkan, mulai 2019 nanti, semua produk yang dipasarkan di Indonesia, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, wajib bersertifikat halal.


“Pada dasarnya, kalangan pengusaha tidak setuju dengan UU JPH. Itu sudah kami sampaikan secara lisan ke pemerintah sejak lama,” ungkap Danang kepada Tabloid KONTAN.

Apindo menilai, ada banyak aturan main dalam UU JPH yang sulit buat pelaku usaha menerapkannya sekaligus memberatkan mereka. Salah satunya: Pasal 4 yang mewajibkan semua produk barang dan jasa yang beredar di Indonesia bersertifikat halal.

“Itu agak aneh, bagaimana mensertifikasi semua barang dan jasa. Contohnya, mensertifikasi mobil atau jasa halal,” kata Danang.

Keberatan pengusaha lainnya adalah, UU JPH membolehkan berbagai pihak mendirikan lembaga pemeriksa halal (LPH) yang berfungsi memeriksa atau menguji kehalalan produk. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 12 UU JPH.

Menurut Danang, ketentuan itu berpotensi menjadi masalah lantaran hanya akan menimbulkan beban ekonomi baru di kalangan pengusaha. “Otomatis, akan ada biaya-biaya baru yang masuk ke LPH.

Sementara ada jutaan produk barang dan jasa yang beredar,” ujarnya. Bukan cuma itu, keberadaan lebih dari satu LPH juga berpeluang menyulut multiinterpretasi atas kehalalan sebuah produk.

Selain itu, Apindo juga mempersoalkan hukuman bagi pemegang sertifikat halal yang tidak memenuhi kewajiban. Contoh, kewajiban mencantumkan label halal pada produk yang mengantongi sertifikat halal dan menjaga kehalalan produk itu.

Lalu, memisahkan lokasi, tempat, serta alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, penyajian antara produk halal dan tidak halal.

Kewajiban yang lain ialah memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku berakhir, dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH. Nah, kalau pemegang sertifikat halal melanggar salah satu kewajiban tersebut, sederet sanksi sudah menunggu.

Mulai dari peringatan tertulis sampai pidana paling lama lima tahun dan denda sebanyaknya Rp 2 miliar.

Memberatkan UMKM

Mumpung lagi menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) JPH, Danang berharap, pemerintah bisa mengakomodasi setiap aspirasi yang sudah disampaikan pengusaha. “Persoalan ini harus dicermati dengan baik, pemerintah harus arif menyikapinya dan kami menunggu respons dari pemerintah,” ujar Danang.

Keberatan atas Pasal 4 UU JPH juga datang dari Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Indonesia (Gapmmi). Sebelumnya, kewajiban sertifikasi halal hanya untuk makanan dan minuman yang ingin menyandang status halal. Kelak, semua produk wajib hukumnya bersertifikat halal.

“Jadi, nanti pilihannya hanya dua, yakni halal dan non-halal. Kalau sekarang, kan, produk yang tidak klaim apa-apa tetap bisa beredar di pasar,” ucap Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gapmmi.

Apalagi, Adhi menambahkan, wajib sertifikasi halal juga akan memberatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), mengingat biayanya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Bagi industri besar, mungkin tidak ada masalah, karena bisa mengikuti peraturan.

“Yang menjadi perhatian kami adalah UMKM. Mereka bakal sangat sulit menjalankan peraturan UU ini karena harus mengurus sertifikat dan biayanya mahal,” tutur dia.

Perusahaan skala kecil yang merasa produknya halal namun tidak bersertifikat halal, sudah barang tentu tidak mau produknya disebut non-halal hanya gara-gara belum memiliki sertifikat halal. Maka dari itu, Adhi menyarankan, sebaiknya kewajiban sertifikasi halal hanya berlaku bagi produsen yang ingin menyatakan produknya halal.

Sementara yang enggak mau menyatakan produknya halal, tidak perlu mencantumkan label halal dan tetap boleh berjualan. “Dan, jangan juga dikasih label non-halal. Jadi, seperti sekarang, tidak ada klaim apa-apa,” imbuhnya.

Lebih dari itu, Adhi pun meragukan kewajiban sertifikasi halal bisa berjalan maksimal. Menurutnya,  kendala terbesar ada di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pasal 10 UU JPH menyatakan, MUI tetap dilibatkan dalam sidang isbat untuk menetapkan fatwa halal. Selain memberi fatwa halal, MUI juga berperan dalam mengontrol auditor produk halal.

Nah, agar proses sertifikasi halal berjalan lancar, Adhi mengharapkan, MUI harus bisa melayani setiap permohonan yang masuk dengan cepat. Selama ini, MUI baru melakukan sertifikasi rata-rata 6.000 permintaan per tahun.

“Sedang jumlah industri pangan skala UMKM ada 1,6 juta unit. Bisa bayangkan, apakah ini bisa dilayani semua menjadi wajib sertifikasi,”ujarnya.

Lantaran ini merupakan aturan main baru, Adhi juga menaruh syak terhadap kewajiban sertifikasi halal bisa optimal karena belum didukung sistem jaminan halal yang bagus.

Terlebih lagi, infrastruktur, regulasi, prosedur kerja layanan, sistem pengawasan, serta pengembangan kerjasama domestik dan global sertifikasi halal juga belum berjalan dengan baik.

Bukan cuma pelaku usaha makanan dan minuman, industri farmasi juga bakal kesulitan melaksanakan kewajiban sertifikasi halal. Menurut Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), sebanyak 95% bahan baku industri ini masih impor.

Bahan baku tersebut belum memilik cap halal. “Jangan membuat masyarakat bingung. Kalau kewajiban ini direalisasikan, masyarakat nanti tanya, obat yang dikonsumsi halal atau tidak,” ujar Parulian.

Dan, dengan kewajiban itu, Indonesia bakal jadi satu-satunya negara di dunia yang mengharuskan sertifikasi halal pada obat-obatan. Bahkan, negara Islam pun belum ada yang merencanakan atau menetapkan peraturan serupa.

Sampai saat ini, Parulian mengungkapkan, ada 22.000 obat-obatan izin edar di negara kita. Katakanlah, pemerintah hanya mampu memeriksa 1.000 obat per tahun. “Artinya, membutuhkan waktu 22 tahun untuk melakukan sertifikasi halal di industri farmasi, belum yang lain,” ujar Parulian.

Jika pemerintah berkeras menerapkan kebijakan itu, pebisnis farmasi tak berani lagi memproduksi obat karena takut terkena sanksi. “Imbasnya, pasokan obat ke masyarakat terganggu,” cetus dia.

Jalan terus

Terlepas dari beberapa masalah yang mungkin muncul, pemerintah masih belum melihat perlunya melakukan amandemen atas UU JPH.

Mastuki, Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama, mengatakan, pemerintah saat ini justru sedang dalam proses penyusunan peraturan pemerintah (PP) sebagai regulasi turunan dari UU tersebut.

Pemerintah juga terus berupaya memperkuat kapasitas sistem, termasuk penguatan kapasitas MUI dalam penerapan kewajiban halal itu. “Wajib bersertifikat halal tetap berlaku Juni 2019,” tegas Mastuki.

Mastuki pun menegaskan, kebijakan ini berlaku bagi semua produk, tak terkecuali industri farmasi. Ketergantungan terhadap bahan impor tidak bisa dijadikan dasar agar dikecualikan dari kewajiban halal.

Apalagi, pemerintah sudah memberikan waktu bagi industri untuk menyesuaikan dengan aturan anyar tersebut. “Kan sudah dikasih kesempatan mencari bahan alternatif. Kesempatan itu diberikan sejak UU JPH disahkan 2014 lalu sampai Juni 2019 nanti,” katanya.  

Kalaupun bahan impor itu tidak ada penggantinya di dalam negeri, pemerintah akan membantu mengatur kerjasamanya dengan negara pengimpor. Misalnya, impor dari China. Bila di negeri tembok raksasa sudah ada sertifikasi halal dan diakui dunia, maka ketika barang tersebut masuk ke Indonesia, tidak perlu lagi disertifikasi.

Tak hanya farmasi, proses sertifikasi halal terhadap bahan baku juga berlaku untuk industri lainnya. Justru, Mastuki menegaskan, sertifikasi lebih menekankan pada bahan baku.

Ia mencontohkan, industri mode. “Yang disertifikasi bukan bajunya, tapi bahan baku baju seperti benang. Benang ini sudah halal atau ada unsur-unsur haramnya,” ungkap dia.

Untuk memudahkan sektor UMKM, pemerintah berencana hanya menetapkan tarif 10% dari biaya normal mengurus sertifikasi halal. Setuju?

◆ Tahap Penerbitan Sertifikat Halal

- Pengajuan permohonan oleh pelaku usaha Pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pengajuan ini dengan menyertakan dokumen: data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk.

- Pemilihan LPH Pelaku usaha diberi kewenangan untuk memilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk memeriksa dan menguji kehalalan produknya. Lembaga ini mendapat kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk. LPH bisa didirikan oleh pemerintah atau masyarakat. Saat ini, LPH yang sudah eksis adalah LPPOM MUI. LPH yang dipilih oleh pelaku usaha kemudian akan ditetapkan oleh BPJPH. Penetapan LPH paling lama lima hari setelah dokumen permohonan dinyatakan lengkap.

- Pemeriksaan produk Pemeriksaan dilakukan auditor halal LPH yang telah ditetapkan oleh BPJPH.  Pemeriksaan dan pengujian kehalalan produk dilaksanakan di lokasi usaha saat proses produksi atau di laboratorium. Pengujian di laboratorium bisa dilakukan jika dalam pemeriksaan produk terdapat bahan yang diragukan kehalalannya. Hasil pemeriksaan atau pengujian kehalalan produk kemudian diserahkan ke BPJPH.

- Penetapan kehalalan produk BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan atau pengujian kehalalan produk yang dilakukan LPH kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan produk. MUI lalu menetapkan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal. Sidang fatwa ini digelar paling lama 30 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan atau pengujian produk dari BPJPH.

-  Penerbitan sertifikasi Produk yang dinyatakan halal oleh Sidang Fatwa MUI dilanjutkan BPJPH dengan mengeluarkan sertifikat halal. Penerbitan sertifikat halal paling lambat tujuh hari sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.

Pelaku usaha wajib memasang label halal beserta nomor registrasi pada produk usaha mereka. BPJPH juga akan mempublikasikan penerbitan sertifikat halal dari setiap produk. Untuk produk yang dinyatakan tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha disertai alasan.

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 12 Maret - 18 Maret 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Beban Baru Pebisnis di Depan Mata"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga