DI MOJOKERTO, nama minimarket Kirana milik Irma Nurul Laili cukup beken. Namun, tak banyak yang mengetahui dulunya bisnis ini berawal dari usaha dagang beras kecil-kecilan. Ide berbisnis beras muncul saat Irma dan suaminya sedang kesulitan keuangan. Kelahiran putra pertama mereka membuat beban hidup semakin berat. Gaji Irma sebagai pekerja di bagian quality control di pabrik bumbu ternama di Jawa Timur tidak mencukupi. Begitu pula penghasilan sang suami. Irma lalu memutuskan berjualan beras pada 1992. Lima tahun berselang, dari berdagang keliling dari rumah ke rumah, ia berhasil membuka toko kelontong. Di toko yang berada di sebelah rumahnya itu, Irma juga menjual kebutuhan rumah tangga lainnya. Bisnisnya terus berkembang. Singkat cerita, pada 2004, perempuan kelahiran Jember ini berhasil membeli satu bangunan toko. Di tempat jualan yang lebih luas ini, ia mulai berdagang aneka busana. Usaha tersebut lalu ia namai Kirana Fashion dan Swalayan. Setahun kemudian, bisnis ritelnya itu berkembang lagi. Masyarakat menyebutnya minimarket Kirana. "Jualannya sama dengan minimarket biasa, tapi saya juga menjual pakaian, jadi lebih banyak pilihan," paparnya. Setelah mantap di kampung sendiri, Irma mulai berpikir memberdayakan toko-toko kecil di desanya sebagai jaringan. "Banyak ibu-ibu datang. Mereka mengeluh tokonya tak berkembang dan hampir tutup, bahkan ada yang enggak punya usaha sama sekali," kisah ibu tiga anak ini. Irma pun membina sekaligus memberikan pinjaman modal bagi mereka. Dia hanya mensyaratkan, toko binaannya harus mengambil barang dari Kirana. Tapi, ia tidak memakai sistem pembelian putus. "Saya ingin sama-sama untung, mereka mudah ambil barang dari saya dan saya dapat pelanggan," tutur perempuan yang gemar membaca ini. Lambat laun, permintaan untuk menjadi binaan tidak saja datang dari toko sekitar desanya di Kedung Turi, tapi juga dari desa tetangga. Sejak setahun membangun jaringan, Irma kini memiliki 25 toko kelontong binaan. Omzetnya, yang semula hanya berkisar Rp 15 juta sebulan kini meningkat menjadi Rp 50 juta hingga Rp 125 juta sebulan. Pada 2007 ia merambah bisnis lain. Dia membuka bisnis crushing plastik bekas air mineral di lokasi yang sama. Lewat bisnisnya itu dia memberdayakan puluhan ibu rumah tangga, para tukang becak hingga pemulung. Setidaknya, dalam seminggu dia bisa menjual satu ton plastik yang sudah digiling ke pabrik pengolah bijih plastik di Mojokerto. Toh, untuk meraih semua itu, Irma mesti melalu jalan yang berliku. Kesabaran dan ketangguhan Irma Nurul Laili dalam menjalankan bisnis berkali-kali diuji. Saat awal berjualan beras, misalnya, perempuan yang kini berusia 38 tahun ini harus berkeliling menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Cara yang sama juga ia lakoni ketika berjualan pakaian. Tapi, selain ulet, perempuan asal Mojokerto ini pintar membagi waktu. Ia tetap tak meninggalkan profesinya sebagai pekerja pabrik, meski sepulang dari sana ia harus menjajakan beras dan baju. Bahkan, hingga lima tahun kemudian, ketika sudah mempunyai toko kelontong sendiri, Irma tak meninggalkan kedua pekerjaan itu. Dari hasil usahanya ini, perempuan lulusan SMK Pertanian Jember itu berhasil membeli sebuah toko yang cukup luas. Dia mengisi tokonya dengan aneka pakaian untuk ibu dan anak. Saat itu, jualan beras sudah mulai ia kurangi hingga akhirnya ia stop. "Jualan beras saya hentikan karena kurang laku," kisah Irma. Sejak mengelola toko yang lebih luas ini, Irma menyerahkan pengelolaan toko kelontong lamanya kepada sang kakak. Di toko yang baru, banyak ruang yang tak terpakai. Irma lalu mencoba mendaftar menjadi mitra waralaba ke sebuah perusahaan minimarket. Rencana itu tak berhasil ia wujudkan.Proposalnya ditolak. Pewaralaba menganggap lokasi tokonya tidak strategis dan tidak memenuhi syarat. "Tapi, dari ikut presentasi tentang waralaba di sana, saya jadi tahu banyak," tuturnya. Dia pun bertekad membuka minimarket sendiri. Akhirnya, pada 2004, dia mengubah tokonya menjadi minimarket. Tapi, berbeda dengan minimarket lainnya, ia juga menjual pakaian. Tokonya ia namai Kirana Fashion dan Swalayan, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Minimarket Kirana. Ketika toko plus ini beroperasi, Kirana sudah tak lagi bekerja di pabrik. Ia mundur karena ingin fokus mengembangkan usaha. Beberapa bulan membuka minimarket, Irma mencoba membangun jaringan. Ide ini muncul setelah ia mempelajari penyebab naik-turunnya penjualan di tokonya. Ia menyimpulkan, masalah ini bisa diatasi dengan membangun network. Ia menawarkan rencana bisnis ini ke toko-toko di sekitarnya. Toko yang hampir tutup atau tidak berkembang ia ajak bergabung dan ia bina. Bahkan, ia juga menyediakan modal. "Saya tidak terapkan royalty fee atau biaya lainnya. Syaratnya cukup ambil barang dari tempat saya," papar Irma. Dengan kerja sama yang saling menguntungkan itu, hanya dalam setahun, dia berhasil merangkul sekitar 25 toko sebagai jaringan, baik di desanya maupun di desa tetangga. Irma merasa bangga jika melihat mitranya maju. "Ibu-ibu bisa berdaya secara ekonomi. Saya terharu, ternyata yang saya lakukan karena rasa sedih dan pedih tidak sia-sia" tuturnya. Namun, meski telah sukses mengembangkan jaringan, Irma juga sempat tersandung persaingan di dunia bisnis yang kian sengit. Ia juga pernah memasuki masa jenuh dalam bisnisnya. Hingga pada akhirnya, minimarket Kirana sudah cukup dikenal oleh masyarakat Mojokerto. Apalagi, Irma juga terpilih sebagai finalis Danamon Award 2006 di bidang Pemberdayaan Masyarakat untuk kategori usaha kecil dan menengah (UKM). Tapi, Irma tidak melulu menorehkan kisah manis dalam perjalanan bisnisnya. Sekali waktu, ia juga pernah tersandung. Memasuki tahun ketiga perjalanan jaringan minimarket Kirana, Irma mulai menemui masalah. Volume pembelian oleh beberapa toko kelontong binaannya menurun. Belakangan, beberapa toko binaannya itu memilih mengambil barang dari tempat lain. "Ini kelemahan saya karena tidak menerapkan perjanjian tertulis terhadap mereka soal keharusan mengambil barang dari Kirana," tutur bungsu dari tiga bersaudara ini. Memang, sejak awal Irma enggan menerapkan sistem perjanjian hitam di atas putih karena melihat budaya dan pemikiran masyarakat di sana yang belum biasa dengan perjanjian seperti itu "Kalau saya buat perjanjian tertulis bisa-bisa malah lari semua, karena masyarakat di sana perasaannya yang ikut bermain," kisah Irma. Akibatnya, ibarat kacang lupa kulit, setelah mulai sukses, beberapa pemilik toko mulai jarang mengambil barang dari toko Irma. Mereka lebih banyak kulakan barang langsung dari produsen atau distributor. Untungnya, masih ada toko kelontong binaan yang mau mengambil barang ke Kirana. Kejadian itu sempat membuat wanita kelahiran Jember ini merasa jenuh berbisnis. Alhasil, sejak 2007 Irma tidak lagi menawarkan pembinaan toko kelontong baru. Apalagi, saat itu Irma juga tidak memiliki cukup dana untuk melakukan pembinaan. Selain itu, ia juga belum menemukan sistem kerjasama yang tepat untuk menghindari terjadinya persoalan serupa di kemudian hari. Tapi Irma tidak berlama-lama dalam kejenuhan. Ia menganggap setiap kejadian pasti ada hikmahnya. "Pasti ada sisi baik di balik kejadian yang tidak nyaman, itu prinsip yang saya pegang," tuturnya. Dus, mulai pertengahan 2007, Irma membuka bisnis penggilingan (crushing) plastik bekas air minum. Ia tetap tidak lupa memberdayakan masyarakat sekitarnya. Lewat bisnis barunya ini, Irma bisa memberdayakan lebih banyak kaum ibu, tukang becak, para penganggur, dan pemulung di desanya. "Setidaknya setiap minggu saya bisa memasok satu ton plastik ke pabrik pengolahan bijih plastik," ungkap ibu tiga anak ini. Dia memimpikan bisa mempunyai mesin pengolah bijih plastik sendiri, sehingga bisa memberdayakan lebih banyak orang. Meski menjalankan bisnis baru, Irma tetap memendam impian besarnya bersama Kirana. "Saya ingin di setiap sudut Mojokerto berdiri minimarket Kirana. Kalau perlu akan saya waralabakan, tapi tidak menarik biaya pemakaian nama " ujarnya. Namun, ia masih memiliki sumber daya manusia dan keuangan yang terbatas. Karenanya, Irma berharap ada pihak yang bersedia menyokongnya untuk mewujudkan impiannya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Beban Hidup Makin Berat, Tercetus Bikin Minimarket
DI MOJOKERTO, nama minimarket Kirana milik Irma Nurul Laili cukup beken. Namun, tak banyak yang mengetahui dulunya bisnis ini berawal dari usaha dagang beras kecil-kecilan. Ide berbisnis beras muncul saat Irma dan suaminya sedang kesulitan keuangan. Kelahiran putra pertama mereka membuat beban hidup semakin berat. Gaji Irma sebagai pekerja di bagian quality control di pabrik bumbu ternama di Jawa Timur tidak mencukupi. Begitu pula penghasilan sang suami. Irma lalu memutuskan berjualan beras pada 1992. Lima tahun berselang, dari berdagang keliling dari rumah ke rumah, ia berhasil membuka toko kelontong. Di toko yang berada di sebelah rumahnya itu, Irma juga menjual kebutuhan rumah tangga lainnya. Bisnisnya terus berkembang. Singkat cerita, pada 2004, perempuan kelahiran Jember ini berhasil membeli satu bangunan toko. Di tempat jualan yang lebih luas ini, ia mulai berdagang aneka busana. Usaha tersebut lalu ia namai Kirana Fashion dan Swalayan. Setahun kemudian, bisnis ritelnya itu berkembang lagi. Masyarakat menyebutnya minimarket Kirana. "Jualannya sama dengan minimarket biasa, tapi saya juga menjual pakaian, jadi lebih banyak pilihan," paparnya. Setelah mantap di kampung sendiri, Irma mulai berpikir memberdayakan toko-toko kecil di desanya sebagai jaringan. "Banyak ibu-ibu datang. Mereka mengeluh tokonya tak berkembang dan hampir tutup, bahkan ada yang enggak punya usaha sama sekali," kisah ibu tiga anak ini. Irma pun membina sekaligus memberikan pinjaman modal bagi mereka. Dia hanya mensyaratkan, toko binaannya harus mengambil barang dari Kirana. Tapi, ia tidak memakai sistem pembelian putus. "Saya ingin sama-sama untung, mereka mudah ambil barang dari saya dan saya dapat pelanggan," tutur perempuan yang gemar membaca ini. Lambat laun, permintaan untuk menjadi binaan tidak saja datang dari toko sekitar desanya di Kedung Turi, tapi juga dari desa tetangga. Sejak setahun membangun jaringan, Irma kini memiliki 25 toko kelontong binaan. Omzetnya, yang semula hanya berkisar Rp 15 juta sebulan kini meningkat menjadi Rp 50 juta hingga Rp 125 juta sebulan. Pada 2007 ia merambah bisnis lain. Dia membuka bisnis crushing plastik bekas air mineral di lokasi yang sama. Lewat bisnisnya itu dia memberdayakan puluhan ibu rumah tangga, para tukang becak hingga pemulung. Setidaknya, dalam seminggu dia bisa menjual satu ton plastik yang sudah digiling ke pabrik pengolah bijih plastik di Mojokerto. Toh, untuk meraih semua itu, Irma mesti melalu jalan yang berliku. Kesabaran dan ketangguhan Irma Nurul Laili dalam menjalankan bisnis berkali-kali diuji. Saat awal berjualan beras, misalnya, perempuan yang kini berusia 38 tahun ini harus berkeliling menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Cara yang sama juga ia lakoni ketika berjualan pakaian. Tapi, selain ulet, perempuan asal Mojokerto ini pintar membagi waktu. Ia tetap tak meninggalkan profesinya sebagai pekerja pabrik, meski sepulang dari sana ia harus menjajakan beras dan baju. Bahkan, hingga lima tahun kemudian, ketika sudah mempunyai toko kelontong sendiri, Irma tak meninggalkan kedua pekerjaan itu. Dari hasil usahanya ini, perempuan lulusan SMK Pertanian Jember itu berhasil membeli sebuah toko yang cukup luas. Dia mengisi tokonya dengan aneka pakaian untuk ibu dan anak. Saat itu, jualan beras sudah mulai ia kurangi hingga akhirnya ia stop. "Jualan beras saya hentikan karena kurang laku," kisah Irma. Sejak mengelola toko yang lebih luas ini, Irma menyerahkan pengelolaan toko kelontong lamanya kepada sang kakak. Di toko yang baru, banyak ruang yang tak terpakai. Irma lalu mencoba mendaftar menjadi mitra waralaba ke sebuah perusahaan minimarket. Rencana itu tak berhasil ia wujudkan.Proposalnya ditolak. Pewaralaba menganggap lokasi tokonya tidak strategis dan tidak memenuhi syarat. "Tapi, dari ikut presentasi tentang waralaba di sana, saya jadi tahu banyak," tuturnya. Dia pun bertekad membuka minimarket sendiri. Akhirnya, pada 2004, dia mengubah tokonya menjadi minimarket. Tapi, berbeda dengan minimarket lainnya, ia juga menjual pakaian. Tokonya ia namai Kirana Fashion dan Swalayan, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Minimarket Kirana. Ketika toko plus ini beroperasi, Kirana sudah tak lagi bekerja di pabrik. Ia mundur karena ingin fokus mengembangkan usaha. Beberapa bulan membuka minimarket, Irma mencoba membangun jaringan. Ide ini muncul setelah ia mempelajari penyebab naik-turunnya penjualan di tokonya. Ia menyimpulkan, masalah ini bisa diatasi dengan membangun network. Ia menawarkan rencana bisnis ini ke toko-toko di sekitarnya. Toko yang hampir tutup atau tidak berkembang ia ajak bergabung dan ia bina. Bahkan, ia juga menyediakan modal. "Saya tidak terapkan royalty fee atau biaya lainnya. Syaratnya cukup ambil barang dari tempat saya," papar Irma. Dengan kerja sama yang saling menguntungkan itu, hanya dalam setahun, dia berhasil merangkul sekitar 25 toko sebagai jaringan, baik di desanya maupun di desa tetangga. Irma merasa bangga jika melihat mitranya maju. "Ibu-ibu bisa berdaya secara ekonomi. Saya terharu, ternyata yang saya lakukan karena rasa sedih dan pedih tidak sia-sia" tuturnya. Namun, meski telah sukses mengembangkan jaringan, Irma juga sempat tersandung persaingan di dunia bisnis yang kian sengit. Ia juga pernah memasuki masa jenuh dalam bisnisnya. Hingga pada akhirnya, minimarket Kirana sudah cukup dikenal oleh masyarakat Mojokerto. Apalagi, Irma juga terpilih sebagai finalis Danamon Award 2006 di bidang Pemberdayaan Masyarakat untuk kategori usaha kecil dan menengah (UKM). Tapi, Irma tidak melulu menorehkan kisah manis dalam perjalanan bisnisnya. Sekali waktu, ia juga pernah tersandung. Memasuki tahun ketiga perjalanan jaringan minimarket Kirana, Irma mulai menemui masalah. Volume pembelian oleh beberapa toko kelontong binaannya menurun. Belakangan, beberapa toko binaannya itu memilih mengambil barang dari tempat lain. "Ini kelemahan saya karena tidak menerapkan perjanjian tertulis terhadap mereka soal keharusan mengambil barang dari Kirana," tutur bungsu dari tiga bersaudara ini. Memang, sejak awal Irma enggan menerapkan sistem perjanjian hitam di atas putih karena melihat budaya dan pemikiran masyarakat di sana yang belum biasa dengan perjanjian seperti itu "Kalau saya buat perjanjian tertulis bisa-bisa malah lari semua, karena masyarakat di sana perasaannya yang ikut bermain," kisah Irma. Akibatnya, ibarat kacang lupa kulit, setelah mulai sukses, beberapa pemilik toko mulai jarang mengambil barang dari toko Irma. Mereka lebih banyak kulakan barang langsung dari produsen atau distributor. Untungnya, masih ada toko kelontong binaan yang mau mengambil barang ke Kirana. Kejadian itu sempat membuat wanita kelahiran Jember ini merasa jenuh berbisnis. Alhasil, sejak 2007 Irma tidak lagi menawarkan pembinaan toko kelontong baru. Apalagi, saat itu Irma juga tidak memiliki cukup dana untuk melakukan pembinaan. Selain itu, ia juga belum menemukan sistem kerjasama yang tepat untuk menghindari terjadinya persoalan serupa di kemudian hari. Tapi Irma tidak berlama-lama dalam kejenuhan. Ia menganggap setiap kejadian pasti ada hikmahnya. "Pasti ada sisi baik di balik kejadian yang tidak nyaman, itu prinsip yang saya pegang," tuturnya. Dus, mulai pertengahan 2007, Irma membuka bisnis penggilingan (crushing) plastik bekas air minum. Ia tetap tidak lupa memberdayakan masyarakat sekitarnya. Lewat bisnis barunya ini, Irma bisa memberdayakan lebih banyak kaum ibu, tukang becak, para penganggur, dan pemulung di desanya. "Setidaknya setiap minggu saya bisa memasok satu ton plastik ke pabrik pengolahan bijih plastik," ungkap ibu tiga anak ini. Dia memimpikan bisa mempunyai mesin pengolah bijih plastik sendiri, sehingga bisa memberdayakan lebih banyak orang. Meski menjalankan bisnis baru, Irma tetap memendam impian besarnya bersama Kirana. "Saya ingin di setiap sudut Mojokerto berdiri minimarket Kirana. Kalau perlu akan saya waralabakan, tapi tidak menarik biaya pemakaian nama " ujarnya. Namun, ia masih memiliki sumber daya manusia dan keuangan yang terbatas. Karenanya, Irma berharap ada pihak yang bersedia menyokongnya untuk mewujudkan impiannya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News