KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelemahan rupiah diperkirakan bakal menyeret kinerja sejumlah sektor industri. Salah satunya adalah sektor telekomunikasi yang saat ini sedang jatuh bangun menghadapi penurunan kinerja. Pasalnya, fluktuasi mata uang Garuda terhadap dollar Amerika Serikat (AS) mengakibatkan, emiten sektor telekomunikasi harus berpikir keras guna melunasi utang dalam denominasi dollar AS. Kondisi semakin berat, mengingat pendapatn sektor ini dalam berdenominasi rupiah. Analis BCA Sekuritas Aditya Eka Prakasa dalam dalam riset 5 Juli 2018 bilang, pelemahan rupiah ini bisa meningkatkan rugi kurs pada masing-masing emiten yang memiliki utang dalam bentuk
the greenback. Belum lagi, beban pendapatan bisa menggemuk akibat pergerakan rupiah yang loyo ini.
Lebih lanjut, Aditya menghitung, setiap 1% pelemahan rupiah akan berdampak negatif pada berkurangnya pendapatan perusahaan telekomunikasi sebesar 0,01%–5,7%. "Namun ini dengan asumsi tidak ada pinjaman perbankan yang menggunakan lindung nilai atau
hedging," jelas dia. Dari tiga emiten telekomunikasi jumbo, PT XL Axiata Tbk (EXCL) adalah emiten yang paling banyak memiliki utang berdenominasi dollar AS. Soalnya, 32% dari seluruh utang EXCL yang mencapai Rp 14,8 triliun adalah dalam bentuk dollar AS. Namun, Aditya bilang, walau punya utang dalam denominasi dollar AS sebesar Rp 4,74 triliun, EXCL sudah melakukan
hedging, sehingga flutuasi mata uang tak terlalu berdampak besar. Nah, utang berbentuk dollar AS milik PT Indosat Tbk (ISAT) hanya 2% dari keseluruhan utang perusahaan. Utang tersebut berbentuk obligasi dan obligasi syariah. Ini membuat rugi kurs yang alami perusahaan di tahun ini tergolong mini. Selain masalah fluktuasi rupiah, sektor telekomunikasi juga dihantui kenaikan bunga kredit perbankan sejalan dengan suku bunga acuan atawa Bank Indonesia (BI) 7
Day Repo Rate naik. Hitungan BCA Sekuritas, setiap kenaikan suku bunga 25 basis point (bps) akan meningatkan biaya bunga antara 0,3%–2,2%. Ini juga membuat laba bersih perusahaan telekomunikasi berpotensi turun. "TLKM dan EXCL menjadi perusahaan yang paling rentang terhadap fluktuasi kenaikan bunga," ungkap Aditya. Registrasi kartu Walau ISAT menjadi emiten telekomunikasi yang paling tak terpengaruh kenaikan suku bunga acuan dan fluktuasi rupiah, namun kinerja perusahaan ini cenderung kurang baik. Terlebih di kuartal I-2018, ISAT malah mencetak rugi bersih Rp 505,70 miliar. Padahal pada periode Januari-Maret 2017, perusahaan ini masih mencatatkan laba bersih sebesar Rp 173,86 miliar. "Kinerja ISAT turun karena aturan pemerintah yang mewajibkan mendaftaran SIM card," kata analis Henan Putihrai Sekuritas Josscarios Jonathan. Soalnya, setelah pendaftaran kartu prabayar tersebut, jumlah pengguna ISAT yang sebelumnya diklaim mencapai 110 juta, kini tinggal 101 juta. Sebaliknya, registrasi kartu prabayar justru menguntungkan EXCL. Sebab, pengguna operator yang satu ini tergolong setia. Sebanyak 84% pengguna EXCL melakukan registrasi.
Aditya pun masih melihat potensi positif EXCL sebagai emiten yang bisa bertahan di bisnis telekomunikasi, meski
legacy business EXCL bisa berkurang. Ia pun merekomendasikan
beli bagi saham EXCL dengan target harga Rp 4.100 per saham. Josscarios juga masih menjagokan EXCL. Ekspansi jaringan 4G perusahaan cukup agresif ke luar Pulau Jawa dan dapat menghadang TLKM. Belum lagi, keunggulan EXCL adalah memberi paket internet yang lebih murah. Aditya memproyeksikan, pendapatan EXCL di tahun ini bisa mencapai Rp 24,32 triliun dengan laba bersih yang direvisi ke bawah menjadi Rp 585 miliar. Sebelumnya, BCA Sekuritas memperkirakan, laba bersih XL bisa ada di kisaran Rp 598 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati