JAKARTA. Sinyal penurunan BI rate seharusnya bisa menjadi tolok ukur kemampuan bank menggunting bunga kredit. Pesan Bank Indonesia (BI) ini cukup jelas: perbankan kita memiliki ruang untuk melakukan itu. BI sendiri semula akan memangkas bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur, awal September lalu. Tapi, karena krisis global semakin tidak menentu, bank sentral hanya memperlonggar batas bawah bunga operasi pasar menjadi 1,5% di bawah BI rate. Bunga acuan tetap 6,75%. Jika melihat beberapa sisi, indikator saat ini sudah ideal untuk penurunan bunga. Kinerja perekonomian domestik membaik, inflasi berpeluang lebih rendah dari target, dan likuiditas melimpah. Kondisi likuiditas tercermin dari bunga pasar uang antar bank (PUAB) yang terus bergerak turun, terutama setelah BI memperlebar batas bawah.
Pasca pelebaran itu, bunga PUAB kini bergerak di kisaran 5,3%, menyusut jauh dibandingkan posisi Agustus 2011 yang berada di level 5,82%. Seharusnya, penurunan bunga PUAB diikuti penyusutan bunga dana dan kredit perbankan, karena patokan dalam menetapkan harga mengacu pada pasar uang tersebut. Indikator lain, undisbursed loan atau kredit mubazir terus meninggi. Di akhir Juli lalu, nilainya mencapai Rp 623 triliun, atau tumbuh 24,4% (yoy). Pertumbuhan ini lebih tinggi ketimbang penyaluran kredit baru, yang hanya meningkat 23,5% menjadi 1.973,5 triliun. Sementara itu, pada periode yang sama, total penempatan dana bank di BI meningkat 53,7%. Bankir selalu beralasan, pemicu
undisbursed loan akibat lambatnya pengerjaan proyek, karena terbentur pembebasan lahan dan birokrasi. Tapi mereka juga lupa, pengusaha menunda pencairan, karena berharap bunga kredit bisa lebih rendah. Apalagi, ketika ekonomi global terancam pelambatan, pengusaha berupaya lebih efisien lagi dengan menekan biaya dana. BI juga mencatat, biaya
overhead semua jenis kredit dalam tren menurun. Misalnya, biaya
overhead kredit korporasi turun dari 3,12% pada Maret menjadi 2,6% pada Juni. Sedangkan kredit pemilikan rumah (KPR) dari 4,6% menjadi 3,06%. Kemudian non-KPR menurun dari 3,55% menjadi 3,06%. Data ini berasal dari laporan biaya dana bank ke BI sebagai tindak lanjut kebijakan transparansi bunga dasar kredit (SBDK). Menggenjot marjin Melihat beberapa parameter itu, bank tidak punya alasan menahan bunga kredit lebih lama lagi. Kecuali, para pemilik bank membebani target kelewat tinggi, sehingga bankir justru memanfaatkan situasi saat ini untuk menggenjot marjin. Sejumlah bankir mengatakan, penurunan suku bunga instrument bank sentral, termasuk batas bawah operasi moneter dan BI rate, tak serta mereta menekan bunga kredit bank. Pasalnya, biaya dana dan overhead masih tinggi, khususnya pada pinjaman valas dan kredit mikro. Ahmad Baiquni, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengatakan, penurunan bunga kredit bisa terjadi, jika bunga deposito menyusut. Selain itu, tingkat bunga di bank lain juga meluruh. "Kami belum berencana menurunkan bunga kredit,” katanya. Direktur Utama Bank BNI, Gatot M Suwondo berpendapat, kebijakan BI di PUAB belum tentu mendorong penurunan bunga kredit. Pasalnya, kapitalisasi PUAB masih kecil. Rata-rata transaksi cuma Rp 8 triliun–Rp 10 triliun per hari. Menurut dia, komponen suku bunga bukan hanya biaya dana, juga mempertimbangkan
overhead cost, margin dan premi resiko.
Direktur Tresuri dan Internasional Bank Mutiara, Ahmad Fajar menilai, beberapa kebijakan BI memang bertujuan merangsang bank menyalurkan kredit, ketimbang menyimpan duit di instrumen bank sentral. BI berharap, perlombaan penyaluran kredit ini mendorong bunga kredit turun. "Bila imbal hasil sudah rendah, bank tentu lebih memilih menyalurkan kredit," ujarnya. Harapan tersebut bisa terwujud jika permintaan besar. Jika permintaan kredit tinggi dan dana bank melimpah, bunga kredit bisa turun. Dengan catatan, kondisi makro tak terganggu sama sekali. Komisaris Bank Permata, A. Tony Prastiantono pesimistis, bankir menurunkan bunga kredit. Sebab, direksi bank mendapat beban pencapaian target yang sudah ditentukan pemegang saham. Bila tak terpenuhi, jabatan menjadi taruhan. "Bunga mungkin akan turun tetapi penurunannya lambat," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati