KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa saham dalam konstituen LQ45 sudah mencetak rekor harga tertinggi, misalnya PT Bank Central Asia Tbk (
BBCA) dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (
BMRI). Lantas, apakah ada potensi emiten yang mampu menjadi saham
bagger, bahkan
multibagger? Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto mengatakan bahwa jika melihat dari konstituen LQ45 yang berpotensi
bagger dalam waktu dekat, agak sulit dilakukan. Hal ini disebabkan terutama oleh perhatian yang cukup besar dari para pelaku pasar terhadap performa dan pergerakan saham-saham LQ45. Sehingga ketika terjadi koreksi biasanya tidak bisa terlalu dalam karena sudah banyak para investor menunggu harga diskon sehingga akan jarang menemukan saham bagus yang harganya sangat
undervalued.
"Demikian pula ketika naik, akan banyak penumpang yang merealisasikan keuntungan sehingga akan cukup berat dalam melaju sehingga butuh waktu yang lama untuk bisa mencapai
bagger," kata Pandhu kepada Kontan.co.id, Selasa (25/10).
Baca Juga: Saham Pilihan Mirae Asset Untuk Bekal Trading Suatu saham disebut
bagger apabila memiliki faktor fundamental dan pertumbuhan kuat. Selain itu, harga yang lebih murah dibandingkan nilai wajarnya, dan menawarkan
return yang berkali-kali lipat. Dari sana, Pandhu melihat yang memiliki potensi
bagger dalam jangka panjang tentunya sektor perbankan. Sebab, memiliki kinerja yang paling konsisten berdasarkan pencapaian kinerja sepanjang tahun ini. Namun karena belum lama ini sudah naik banyak, perlu mempertimbangkan harga yang ideal untuk masuk. "Mungkin jika bulan depan terjadi koreksi, misalnya ada tekanan ketika the Fed menaikkan suku bunga dapat menjadi peluang untuk memperoleh level
entry yang lebih baik karena Desember kemungkinan besar tidak akan terjadi koreksi besar mengingat secara historis selalu menguat dalam rangka
window dressing," imbuh Pandhu.
Baca Juga: Indikasi Window Dressing, Potensi Cuan Saham Big Caps Kian Menjulang Pandhu pun menyebut, investor bisa memperhatikan saham-saham seperti
BBNI,
BBRI, dan
BMRI yang secara pergerakan lebih lincah. "Sehingga ketika mendapat level
entry yang bagus, memiliki potensi
bagger yang lebih cepat," imbuh dia. Kemudian dari sektor tambang, dia menyukai tambang logam karena memiliki prospek yang cerah seiring kebijakan pemerintah yang serius mengembangkan industri nikel. Investor global mulai gencar berdatangan ke Indonesia menanamkan modal dan menjalin kerja sama bisnis yang diharapkan dapat segera beroperasi tahun depan seiring rencana besar dunia yang beralih ke energi bersih. Menururt Pandhu, hal ini tentu cocok karena Indonesia memiliki cadangan nikel yang besar dan merupakan salah satu produsen nikel terbesar dunia. Bisa diperhatikan saham seperti
INCO dan
ANTM.
Baca Juga: Ditutup di Zona Merah, Simak Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Rabu (26/10) Selain itu, disebutnya beberapa saham LQ45 yang memiliki valuasi relatif rendah saat ini juga cukup menarik untuk diperhatikan seperti
INKP,
MNCN,
PGAS,
JPFA, dan
INDF. "Rata-rata diperdagangkan pada level PE di bawah 7 kali dan PBV di bawah 1 kali sehingga memiliki potensial
upside yang cukup besar, apalagi jika kinerja tahun ini dan seterusnya menunjukkan perbaikan yang signifikan," kata dia. Serupa, analis Pilarmas Invetindo Sekuritas Desy Israhyanti juga menilai emiten perbankan dan komoditas juga yang memiliki potensi untuk
bagger. Dia pun memilih saham
MEDC,
ANTM,
BBCA,
BBRI,
BMRI. Dia mencontohkan MEDC yang dilihat memiliki prospek baik karena profil bisnisnya yang mengalami penguatan dengan masifnya ekspansi yang dilakukan. Sehingga aset semakin besar, potensi produksi semakin besar. Demikian juga cadangan hingga
mining life. "Kenaikan
demand gas dan tambang mineralnya seperti tembaga dan emas juga dilihat sebagai potensi, begitu juga kenaikan harga rata-rata penjualan dengan kondisi global saat ini," kata Desy.
Baca Juga: IHSG Melemah ke 7.048 Pada Selasa (25/10), Net Buy Asing Rp 297 Miliar Sebetulnya, beberapa saham konstituen LQ45 telah mencatatkan kenaikan harga saham di atas 100%, yakni
AMRT,
ITMG, dan
INDY. Hanya saja Desy menilai emiten-emiten tersebut akan bergantung dengan global hingga domestik. Secara keseluruhan, komoditas energi memang mengalami tren penurunan dan dilihatnya pergerakan market juga penurunan terdalam dari sektor energi. "Namun, tidak menutup kemungkinan kembali ada penguatan melihat kondisi global saat ini di tengah adanya potensi perlambatan ekonomi," pungkas Desy. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati