Beda Krisis Covid-19 dengan Krisis Keuangan Lain



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hampir semua negara di dunia sedang berperang melawan pandemi Covid-19. Pasar modal juga ikut terpengaruh dan tertekan. Kapan kira-kira pasar modal akan kembali pulih? Apa yang pelaku pasar harus lakukan menghadapi krisis kali ini?

Krisis kali ini lebih kompleks dari dua krisis besar sebelumnya, yaitu krisis ekonomi 19981999 dan krisis subprime mortgage Amerika Seritkat (AS) di 2008-2009.

Pada krisis ekonomi 1998-1999, krisis berpusat di kawasan Asia. Krisis bermula di Thailand dan menyebar negara lain di Asia, yakni Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan.


Indonesia juga mengalami pukulan akibat melemahnya kurs. Pelemahan nilai tukar ini memukul sektor rill yang punya utang dalam mata uang asing dan yang mengandalkan bahan baku impor. Akibatnya, kredit macet di sektor perbankan naik.

Di sisi lain terjadi gejolak politik di Indonesia dan menambah ketidakpastian ekonomi. Terjadi rush pada perbankan akibat krisis multidimensi ini dan rumor gagal bayar perbankan, yang menyebabkan runtuhnya system keuangan Indonesia.

Krisis subprime mortgage berpusat di AS akibat kurang prudent-nya penyaluran kredit perumahan. Periode rendahnya suku bunga untuk mendorong ekonomi dan apresiasi harga rumah mendorong spekulasi di sektor properti.

Tapi banyak pemberi kredit perumahan kurang hati-hati, sehingga agunan tidak sesuai nilai fundamental. Selain itu ada berbagai permasalahan, mulai dokumen tidak lengkap hingga rasio debt to income dan payment to income (PTI) yang terlalu tinggi. Terjadilah krisis subprime mortgage, yang dianggap krisis kedua terbesar di dunia setelah krisis 1930.

Pada saat krisis terjadi aliran dana keluar dari perekonomian Indonesia yang menimbulkan tekanan pada nilai tukar. Investor asing kembali ke negaranya akibat krisis tersebut. Tetapi setelah The Fed menurunkan suku bunga dan melakukan quantitative easing (QE), pasar saham dunia segera pulih.

Indonesia juga hanya terdampak satu tahun. Sesudah itu pasar saham segera pulih karena perekonomian Indonesia tidak terlalu terdampak.

Sekarang ada krisis Covid-19. Krisis ini sedikit berbeda. Dunia menghadapi masalah kesehatan, di mana ketakutan dan kekhawatiran akan tertular penyakit dan risiko kematian mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Virus korona tipe baru ini punya kecepatan penyebaran tinggi, meskipun di awal tingkat kematian tercatat relatif rendah, cuma sekitar 3,4%. Tetapi ketika penyebarannya tidak terkendali, fasilitas kesehatan pun menjadi tidak mencukupi untuk merawat pasien.

Kondisi ini menaikkan angka kematian sampai sekitar 10%. Upaya yang dilakukan adalah memutus rantai penyebaran virus dengan lockdown, social distancing dan physical distancing.

Konsekuensinya berbagai aktivitas kehidupan yang mempengaruhi perekonomian melambat, atau bahkan terhenti. Bila sebuah bisnis berhenti, akan muncul masalah. Sebab, masih ada biaya-biaya operasi yang ditanggung seperti biaya sewa, gaji, cicilan utang dan bunga. Beberapa perusahaan sudah melakukan PHK terhadap karyawan akibat turunnya omzet dan atau berhentinya operasi selama pandemi Covid-19.

Kita perlu mengapresiasi segala stimulus yang digelontorkan pemerintah, demi membantu dunia usaha dan masyarakat keluar dari masalah. Pemerintah Indonesia juga mengikuti langkah berbagai negara lain, yang mengeluarkan stimulus untuk melawan dampak penyebaran Covid-19.

Pemerintah AS merencanakan mengeluarkan dana sampai US$ 2 triliun, ditambah kebijakan pembelian surat berharga oleh The Fed yang mencapai US$ 2,3 triliun. Di Indonesia, kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur tata cara pengajuan keringanan kredit bank dan pinjaman leasing bagi pihak yang terdampak Covid-19 sangat baik. Ini bisa mengurangi beban UKM dan pekerja informal.

Tapi, kebijakan seperti ini hanya mampu mendorong pasar saham naik sesaat dan kemudian melemah kembali. Pelaku pasar terlihat lebih fokus pada kapan pandemi Covid-19 mencapai puncak dan mulai turun. Pasar keuangan akan sangat optimistis ketika jumlah yang sembuh lebih banyak daripada kasus baru. Sekarang, sebesar apapun stimulus, selama roda ekonomi tidak dapat diputar maka tidak akan terjadi pemulihan.

Tanda-tanda kasus Covid-19 mencapai puncak mulai terlihat di Eropa, yang merupakan wilayah terbesar terdampak Covid-19. Tetapi sekarang pelaku pasar juga fokus kira-kira sampai kapan virus ini bisa ditanggulangi, atau bahasa sederhananya sampai kapan aktivitas ekonomi bisa normal kembali. Krisis kali ini menjadi kompleks karena semua pihak kesulitan memperkirakan sampai kapan masalah ini akan berakhir.

Belajar dari dua krisis di atas, bila krisis tidak merusak fundamental ekonomi, maka pemulihan akan cepat. Tetapi bila pandemi terjadi dalam waktu tiga sampai empat bulan, diperkirakan akan merusak fundamental perekonomian. Artinya, perekonomian akan butuh waktu untuk pulih. Ketika bisnis bermasalah, seperti kehabisan dana segar, terjadi PHK karyawan dan kredit macet, upaya bangkit akan memakan waktu.

Pelaku pasar perlu mencermati hal ini dengan memilih saham-saham yang terdampak Covid-19, sehingga harganya saat ini sudah turun cukup signifikan. Tetapi perlu dicari sektor yang cepat pulih kembali ketika pandemi Covid-19 berlalu. Lakukan pembelian saham tersebut dan simpan dalam dua sampai tiga tahun.

Tetapi sekarang, yang penting jaga kesehatan, stay at home dan patuhi ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB diharapkan mampu mempercepat penyelesaian masalah Covid-19, sehingga pasar saham segera bangkit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Harris Hadinata