Beda Nasib Prospek Harga Minyak dan Batubara di Tahun 2025



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga minyak mentah tertekan oleh prospek permintaan yang lebih sedikit saat suplai diperkirakan meningkat. Berbeda nasib dengan minyak, batubara lebih optimistis karena permintaan masih tinggi dari importir utama.

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, prospek harga komoditas energi seperti minyak dan batubara pada tahun 2025 akan dipengaruhi oleh tensi geopolitik, serta pertumbuhan ekonomi khususnya di pasar negara berkembang yang akan mendorong permintaan komoditas energi.

Di pasar minyak mentah, keputusan negara pengekspor minyak mentah dan sekutunya (OPEC+) terkait pemotongan atau peningkatan produksi akan menjadi faktor utama harga. Di lain sisi, naik turunnya permintaan minyak ataupun batubara terutama dari konsumen utama seperti Tiongkok dan India, juga berpengaruh signifikan bagi harga.


Keseimbangan antara pasokan dan permintaan, termasuk dampak kapasitas produksi baru dan penghentian pabrik bahan bakar fosil, akan memengaruhi harga. Selain itu, kebijakan pemerintah, termasuk tarif dan subsidi, ditambah adanya sentimen investor dan spekulasi pasar dapat menyebabkan volatilitas harga, komoditas energi.

Baca Juga: Kinerja Industri Batubara 2024 Terbebani Kewajiban Tarif Royalti, DHE hingga DMO

Sutopo menjelaskan, OPEC telah memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak untuk bulan kelima berturut-turut. Hal itu karena mempertimbangkan data ekonomi yang lebih lemah dari wilayah-wilayah utama seperti Tiongkok dan India.

Dalam laporan pasar minyak bulanannya yang dirilis Desember ini, OPEC memproyeksikan pertumbuhan permintaan minyak global sebesar 1,61 juta barel per hari (bph) untuk 2024, turun sekitar 210.000 bph dari pertumbuhan 1,82 juta bph yang diperkirakan pada bulan lalu.

Sementara itu, organisasi negara pengekspor minyak mentah atau disebut OPEC memproyeksikan pertumbuhan permintaan minyak global untuk 2025 sebesar 1,45 juta bph, turun 90.000 bph dari perkiraan bulan lalu sebesar 1,54 juta bph.

‘’Revisi ke bawah ini menyoroti tantangan yang dihadapi pasar minyak, termasuk potensi kelebihan pasokan dan berkurangnya pertumbuhan permintaan,’’ ucap Sutopo kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Baca Juga: Harga Minyak Mentah Kompak Menguat di Awal Pekan Ini, WTI ke US$ 69,86 Per Barel

Prospek perekonomian yang lebih suram salah satunya berkaitan dengan sentimen pasar terkait era suku bunga masih akan tinggi. Suku bunga yang lebih tinggi dapat menguatkan dolar AS, sehingga minyak lebih mahal bagi pemegang mata uang lain dan mengurangi permintaan.

Analis Komoditas dan Founder Traderindo.com Wahyu Tribowo Laksono memandang prospek permintaan minyak masih kurang meyakinkan. Hal itu karena pertumbuhan ekonomi masih terancam, sehingga berharap bank sentral AS The Fed dan bank sentral China PBoC mendukung ekonomi via pelonggaran moneter, serta pemangkasan produksi dari OPEC.

Faktor fundamental pun masih belum mendukung posisi minyak. Fokus Trump lebih banyak kepada pengeboran yang telah menyebabkan meningkatnya ekspektasi produksi minyak yang lebih tinggi oleh AS dalam beberapa bulan mendatang. Pada gilirannya, aktivitas ini berpotensi menyebabkan harga minyak melemah.

Pertumbuhan ekonomi China juga melambat sebagai konsumer besar. Di samping itu, stimulus dari China dinilai tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada gilirannya, lesunya perekonomian China telah meningkatkan kekhawatiran tentang penurunan permintaan minyak dalam waktu dekat.

Baca Juga: Harga Minyak Turun Sepekan, Pasar Menimbang Penurunan Suku Bunga dan Permintaan China

Selain itu, OPEC+ juga telah memperingatkan bahwa negara-negara non-OPEC+ kemungkinan akan meningkatkan produksi minyak mereka pada tahun 2025, yang juga dapat menyebabkan kelebihan pasokan lebih lanjut.

Pada saat yang sama, AS memompa volume yang belum pernah terjadi sebelumnya. Administrasi Energi Energi AS mengharapkan produksi minyak mentah akan naik menjadi 13.2 juta barel per hari, dan akan makin bertambah di 2025.

‘’Secara umum, minyak masih kurang meyakinkan. Tren masih potensial melemah,’’ ungkap Wahyu saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (23/12).

Namun lain halnya bagi prospek harga komoditas energi lain seperti batubara. Wahyu menyebut, walaupun AS dan Eropa seperti Inggris sudah menutup pembangkit listrik batubara terakhirnya, namun China dan India sebagai konsumen terbesar masih sangat butuh batubara.

Baca Juga: Donald Trump Ancam Patok Tarif Tinggi Uni Eropa Jika Tak Beli Minyak dan Gas dari AS

Harga batubara Australia juga melonjak karena permintaan yang lebih kuat dari beberapa negara Asia, termasuk Thailand, Filipina, dan Vietnam, yang mengalami rekor gelombang panas yang mendorong konsumsi energi meningkat. Peningkatan permintaan juga datang dari Jepang.

Secara keseluruhan, Wahyu berujar, memang pelemahan bisa potensial pada 2025 karena pembangkit listrik terbarukan memenuhi permintaan listrik yang meningkat. Namun, jika melihat fundamental global khususnya moneter Fed, maka bisa memicu terjadinya pelemahan dolar AS dan denominator atau minyak yang merupakan lawan dolar AS juga bisa naik.

‘’Impor batubara China diperkirakan akan tetap berada di puncak rekor sekarang dengan antisipasi puncak konsumsi musim dingin mendatang,. Jadi koreksi harga saat ini masih wajar,’’ sebut Wahyu.

Baca Juga: Harga Minyak Anjlok Karena Kekhawatiran Pertumbuhan Permintaan dan Penguatan Dolar

Sutopo menambahkan, pergeseran ke sumber energi terbarukan umumnya memberikan tekanan pada harga batubara. Meskipun demikian, batubara tetap menjadi sumber energi yang signifikan, terutama di negara-negara berkembang.

‘’Permintaan batubara global hingga akhir tahun ini diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi baru didorong oleh peningkatan konsumsi di Tiongkok dan India,’’ tutur Sutopo.

Menurut Sutopo, batubara kemungkinan akan diperdagangkan pada level US$134,83 per metrik ton di akhir tahun 2024. Minyak mentah WTI diperkirakan pada level US$69,16 per barel pada akhir tahun ini.

Wahyu memperkirakan, prospek harga batubara masih bullish yang berpotensi di kisaran US$ 140 per ton–US$ 150 per ton di 2025. Sedangkan, harga minyak mentah dipandang masih lemah kemungkinan di kisaran US$ 60 per barel–US$ 80 per barel dengan titik tengah di US$ 70 per barel.

Selanjutnya: Honda dan Nissan Rencanakan Merger 2026 untuk Hadapi Ancaman EV China

Menarik Dibaca: Toyota Yaris Cross HEV Meraih Penghargaan Most Worthy Car di Uzone Choice Award 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati