KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Transisi energi menjadi salah satu komitmen tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) saat memimpin Indonesia mendatang. Namun ternyata ketiga paslon ini memiliki pandangan yang berbeda terkait kebijakan transaksi pengakhiran lebih awal alias pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia. Juru Bicara Pasangan Capres Cawapres nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin), Irvan Pulungan menegaskan bahwa pensiun dini PLTU ini menjadi agenda utama mereka saat terpilih menjadi pemimpin mendatang.
Baca Juga: Dirut PLN Singgung Tantangan Pendanaan Pensiun Dini PLTU Tahap awal pensiun dini akan dilakukan di dua kawasan yaitu Jawa dan Bali yang dinilai sudah
oversupplay atau kelebihan pasokan. Menurutnya ni mutlak harus dilakukan sebagai langkah untuk mengurangi emisi karbon. "Kedua, PLTU yang berada di Sumatera dan Kalimantan khsusunya pltu yang menggunakan mesin bekas, mesin-mesin PLTU yang bekas menyebabkan efisiensi rendah dan polusi tinggi," kata Irvan dalam diskusi publik transisi energi, di Jakarta, Selasa (9/1). Meski begitu pihaknya mengakui bahwa pemensiunan dini PLTU ini akan memerlukan anggaran yang besar. Untuk itu, pihaknya akan melakukan valuasi ekonomi secara matang. Sehingga wacana penutupan ini tidak akan merugikan Indonesia sendiri. "Kami bila dimandatkan oleh rakyat berkepentingan untuk memfasilitasi menemukan valuasi yang memang secara metodologis dapat menjawab dan dapat menguntungkan Indonesia," jelas Irvan. Berbeda pendapat, Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka, Eddy Soeparno menilai kebijakan pensiun dini PLTU belum realistis untuk dilakukan. Apalagi, suntik mati PLTU memerlukan anggaran yang cukup besar. Contohnya saja, pensiun dini PLTU Cirebon-1 butuh Rp 300 triliun dan PLTU Pelabuhan Ratu yang butuh Rp 12 triliun. "Untuk penutupan dini berbagai PLTU yang dianggap pencemaran lingkungan dan sudah tua ini menurut saya berlu diperhitungkan biayanya lagi." kata Eddy. Menurt Eddy, penutupan PLTU ini tidak boleh dilakukan secara gegabah. Apalagi opsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebagai pengganti PLTU belum siap.
Baca Juga: Ini Langkah PLN Mengatasi Tantangan Pensiun Dini PLTU "Kalau kita menutup hanya karena
oversupply itu dalam kurun waktu 3-5 tahun akan terlampaui. Saya tahu karena bersama PLN sudah lihat angka-angkanya, RUPTL kita bahas sama-sama. Jadi jangan hanya sekedar tutup tanpa ada solusi," ujar Eddy.
Sementara, Juru Bicara Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Edi Sutrisno menegaskan bahwa komitmen pensiun dini memang harus dilanjutkan. Hanya saja, hal ini harus dilakukan secara bertahap mengingat masih banyak sektor usaha yang bergantung pada energi fosil. "Jadi ini perlu
review bertahap dan tidak boleh ekstrem," pungkas Edi. Untuk itu, penutupan ini perlu dilakukan perencanaan secara matang PLTU mana saja yang sekiranya siap dipensiunkan. Sehingga pemensiunan ini tidak sampai merugikan banyak pihak. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .