JAKARTA. Produksi gula nasional tengah mengalami masa sulit. Di mana pabrik gula lokal belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional baik konsumsi maupun industri yang rata-rata mencapai 5,6 juta ton hingga 5,7 juta ton per tahun. Sementara produksi gula nasional hanya berada di kisaran 2,3 juta ton atau paling tinggi 2,5 juta ton per tahun. Kemudian sisanya harus dipenuhi dari impor. Karena itu, pada kuartal II 2015 ini, Kementerian Perdagangan (Kemdag) akan membuka keran impor gula sebanyak 945.643 ton gula mentah (raw sugar). Untuk mengantisipasi bertambahnya impor gula tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana meningkatkan produksi Pabrik Gula (PG) dengan sejumlah strategi. Salah satunya untuk menutup sejumlah pabrik gula milik negara yang dinilai kurang produktif. Kemudian melakukan perluasan lahan tebu dan digabungkan dengan PG. Saat ini, ada 62 pabrik gula di mana 50 unit di antaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sisanya milik swasta. Dari jumlah itu, sebanyak 64,5% pabrik gula telah uzur dengan usia di atas 100 tahun. Lalu sebanyak 69,4% pabrik milik BUMN berkapasitas kecil atawa di bawah 4.000 Ton Cane per Daya (TCD). Karena itu, Memperin Saleh Husin mendorong agar pabrik gula yang tidak efisien ditutup saja. Sementara untuk PG yang masih produktif dilakukan penambahan dana sekitar US$ 15.000 hingga US$ 20.000 untuk setiap kenaikan kapasitas giling satu ton per hari atau TCD atau sekitar Rp 450 miliar untuk kapasitas giling 2.000 TCD. Menurut Saleh, untuk melakukan pembangunan PG baru dan ekstensifikasi lahan, maka dibutuhkan strategi khusus yakni dengan membangun PG terpadu dengan pabrik tebu. KKP juga menghitung dibutuhkan area perkebunan tebu seluas 20.000 hektare (ha) untuk memasok tebu bagi satu unit PG dengan kapasitas 10.000 TCD dengan investasi sekitar Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun. "Ekstensifikasi PG ini nantinya akan dilengkapi dengan program modernisasi mesin dan peralatan, automatisasi, dan program intensifikasi lahan," ujar Saleh, Senin (6/4). Pemerintah juga akan segera mengembangkan perkebunan tebu baru dan mendorong pembangunan PG di luar Pulau Jawa dengan kapasitas minimal 10.000 TCD. Dengan kapasitas sebesar itu akan memungkinkan menghasilkan listrik dari ampas tebu dan industri bioethanol. Pada tahun 2015 ini diperkirakan kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton. Dimana 2,8 juta ton merupakan Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi dan 2,9 juta ton Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri. Saat ini, rata-rata kebutuhan gula per tahun meningkat 6%, dan pada tahun 2015 ini kebutuhan gula diperkirakan melonjak hingga 9%. Dirjen Industri Kemenperin Agro Panggah Susanto menambahkan penutupan PG yang sudah tidak efisien lagi berpotensi menimbulkan masalah bagi produksi gula nasional. Sebab bila pabrik gula tidak efisien, seperti jumlah pegawai yang mencapai 1.000 orang tapi waktu kerja hanya 150 hari dalam setahun, membuat perusahaan merugi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Begini cara pemerintah tingkatkan produksi gula
JAKARTA. Produksi gula nasional tengah mengalami masa sulit. Di mana pabrik gula lokal belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional baik konsumsi maupun industri yang rata-rata mencapai 5,6 juta ton hingga 5,7 juta ton per tahun. Sementara produksi gula nasional hanya berada di kisaran 2,3 juta ton atau paling tinggi 2,5 juta ton per tahun. Kemudian sisanya harus dipenuhi dari impor. Karena itu, pada kuartal II 2015 ini, Kementerian Perdagangan (Kemdag) akan membuka keran impor gula sebanyak 945.643 ton gula mentah (raw sugar). Untuk mengantisipasi bertambahnya impor gula tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana meningkatkan produksi Pabrik Gula (PG) dengan sejumlah strategi. Salah satunya untuk menutup sejumlah pabrik gula milik negara yang dinilai kurang produktif. Kemudian melakukan perluasan lahan tebu dan digabungkan dengan PG. Saat ini, ada 62 pabrik gula di mana 50 unit di antaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan sisanya milik swasta. Dari jumlah itu, sebanyak 64,5% pabrik gula telah uzur dengan usia di atas 100 tahun. Lalu sebanyak 69,4% pabrik milik BUMN berkapasitas kecil atawa di bawah 4.000 Ton Cane per Daya (TCD). Karena itu, Memperin Saleh Husin mendorong agar pabrik gula yang tidak efisien ditutup saja. Sementara untuk PG yang masih produktif dilakukan penambahan dana sekitar US$ 15.000 hingga US$ 20.000 untuk setiap kenaikan kapasitas giling satu ton per hari atau TCD atau sekitar Rp 450 miliar untuk kapasitas giling 2.000 TCD. Menurut Saleh, untuk melakukan pembangunan PG baru dan ekstensifikasi lahan, maka dibutuhkan strategi khusus yakni dengan membangun PG terpadu dengan pabrik tebu. KKP juga menghitung dibutuhkan area perkebunan tebu seluas 20.000 hektare (ha) untuk memasok tebu bagi satu unit PG dengan kapasitas 10.000 TCD dengan investasi sekitar Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun. "Ekstensifikasi PG ini nantinya akan dilengkapi dengan program modernisasi mesin dan peralatan, automatisasi, dan program intensifikasi lahan," ujar Saleh, Senin (6/4). Pemerintah juga akan segera mengembangkan perkebunan tebu baru dan mendorong pembangunan PG di luar Pulau Jawa dengan kapasitas minimal 10.000 TCD. Dengan kapasitas sebesar itu akan memungkinkan menghasilkan listrik dari ampas tebu dan industri bioethanol. Pada tahun 2015 ini diperkirakan kebutuhan gula nasional mencapai 5,7 juta ton. Dimana 2,8 juta ton merupakan Gula Kristal Putih (GKP) untuk konsumsi dan 2,9 juta ton Gula Kristal Rafinasi (GKR) untuk kebutuhan industri. Saat ini, rata-rata kebutuhan gula per tahun meningkat 6%, dan pada tahun 2015 ini kebutuhan gula diperkirakan melonjak hingga 9%. Dirjen Industri Kemenperin Agro Panggah Susanto menambahkan penutupan PG yang sudah tidak efisien lagi berpotensi menimbulkan masalah bagi produksi gula nasional. Sebab bila pabrik gula tidak efisien, seperti jumlah pegawai yang mencapai 1.000 orang tapi waktu kerja hanya 150 hari dalam setahun, membuat perusahaan merugi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News