KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kemenangan Donald Trump dalam pilpres Amerika Serikat (AS) diproyeksi membuat inflasi kaku. Hal ini seiring dengan asumsi bahwa Trump akan menaikkan tarif impor. Kenaikan tarif akan membuat barang impor menjadi lebih mahal, yang pada akhirnya mendorong naik harga konsumen. "Karena inflasi menjadi lebih kaku untuk turun, maka kebijakan moneter dan pemangkasan suku bunga mungkin akan lebih lambat daripada yang diantisipasi sebelumnya," kata Kepala Divisi Riset Pefindo Suhindarto kepada Kontan.co.id, Kamis (7/11).
Kedua, kemenangan Trump melalui kebijakan proteksionisnya akan mendorong dolar tetap perkasa. Sebagai hasilnya, ongkos untuk mendukung stabilisasi rupiah menjadi lebih mahal. Sebagaimana terjadi di tahun ini, Bank Indonesia (BI) mengintervensi pasar untuk mendukung rupiah, baik dengan mengenalkan SRBI, menaikkan suku bunga, maupun melalui cadangan devisa.
Baca Juga: Meski Tertekan, Yield SUN Masih Lebih Menarik Dibandingkan Tetangga "Sehingga, jika dolar AS tetap kuat di saat pemerintahan Trump berjalan, tekanan terhadap rupiah diperkirakan akan tetap bertahan," terangnya. Dalam kedua kasus, kemenangan Trump akan cenderung membuat
yield di AS lebih kaku untuk turun. Sebagai konsekuensinya,
yield domestik juga akan kaku turun mengikuti pasar AS untuk mempertahankan
spread yang menarik dengan pasar AS. "Dengan kata lain, potensi kenaikan harga surat utang menjadi lebih terbatas," lanjutnya. Di sisi lain, Suhindarto berpandangan pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah seharusnya secara tidak langsung akan mendorong kenaikan harga surat utang. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah membutuhkan intervensi, baik dari pemerintah maupun otoritas terkait, termasuk dari otoritas moneter atau bank sentral. Dari sisi moneter, pemangkasan suku bunga dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui dampaknya terhadap peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi bisnis. Suku bunga yang lebih rendah pada akhirnya mengerek naik harga surat utang (
yield turun). Memang,
yield bisa saja turun jika BI memangkas suku bunga lebih agresif daripada the Fed. Namun, hal itu turut memunculkan risiko lainnya, yakni tekanan arus keluar modal asing dan pada akhirnya akan berdampak pula pada stabilitas nilai tukar serta
imported inflation yang meningkat.
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Menguat, Cadangan Devisa Naik Efek Kemenangan Trump Pemangkasan suku bunga yang agresif akan membuat spread antara suku bunga domestik dan pasar AS semakin menyempit. Sebagai konsekuensinya, asing kemungkinan lebih memfavoritkan pasar AS karena yield tinggi dan dolar yang lebih kuat. Dengan demikian, permasalahan saat ini apakah BI akan memangkas suku bunga terlebih dahulu (atau lebih agresif) daripada the Fed untuk mendukung pertumbuhan ekonomi atau masih memilih untuk mempertahankan stance demi menjaga stabilitas nilai tukar. "Pilihan tersebut tidaklah mudah karena memiliki
trade-off yang besar," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari