KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) memastikan bahwa skema
burden sharing akan berakhir di tahun ini. Dengan demikian, pada tahun depan, Bank Indonesia tidak akan lagi membeli surat utang negara (SUN) di pasar primer. Head of Fixed Income Sucorinvest Asset Management Dimas Yusuf menilai keputusan tersebut seharuskan akan ditanggapi positif oleh pelaku pasar. Menurut dia, pengumuman tersebut secara
timeline sudah sesuai dengan panduan yang telah dibuat pemerintah sebelumnya. Artinya, pemerintah tidak akan lagi perlu dukungan besar dari BI di pasar obligasi. Selain itu, pemerintah sejauh ini sedang menikmati dari kenaikan harga komoditas yang membuat neraca perdagangan surplus tinggi.
Baca Juga:
Terbitkan Global Bonds Senilai US$ 1,75 Miliar, Pemerintah Diminta Cermati Hal Ini “
Exit strategy pemerintah ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan The Fed. Sejauh ini, The Fed justru belum punya
guidance yang jelas, seharusnya (pengumuman berakhirnya
burden sharing) bisa jadi nilai tambah untuk pasar yang sedang lesu,” kata Dimas kepada Kontan.co.id, Rabu (23/3). Menurut Dimas, lesunya pasar SUN saat ini bermula dari konflik antara Rusia-Ukraina yang yang mendorong kenaikan harga komoditas dan terganggunya rantai pasokan, Hal ini memicu ekspektasi kenaikan inflasi global dan di saat bersamaan ekspektasi pertumbuhan ekonomi global juga turun. Adanya penyesuaian posisi dan kebijakan The Fed imbas dari kondisi tersebut membuat pelaku pasar lari ke US Treasury. Dengan
yield US Treasury yang menguat, maka
yield SUN pun tertekan. Minat investor di pasar perdana juga terpantau terus turun. Baca Juga:
Kekahwatiran Inflasi buat Pasar Obligasi Indonesia Lesu Dimas menilai, dalam jangka pendek, pasar obligasi memang cukup banyak tekanan. Namun, menurutnya, Indonesia masih berada dalam kondisi yang cukup baik, karena
spread antara SBN dengan US Treasury masih terjaga di atas 400 bps. Oleh karena itu, secara jangka panjang, penguatan
yield SUN dinilai masih terbuka lebar. Namun, menurutnya, kini yang terpenting adalah investor domestik seperti manajer investasi, asuransi, dan dana pensiun harus bisa meningkatkan porsi kepemilikan. Begitupun dengan investor asing yang diharapkan bisa segera masuk ke pasar SBN. “Hal ini seiring dengan adanya risiko kelompok perbankan yang tidak menambah atau bahkan mengurangi kepemilikan di SBN ketika penyaluran kredit mulai tumbuh,” kata Dimas. Baca Juga:
Selisih Yield SUN dan US Treasury Menarik, Investor Asing Masih Cari Pilihan Lain Dia meyakini, terdapat dua faktor penting yang dapat memengaruhi minat investor untuk mendorong penguatan
yield SBN. Pertama, seperti apa stabilitas rupiah ke depan dibanding dengan indeks dolar AS maupun mata uang lainnya. Kedua, seperti apa hasil penerimaan negara, apakah ada potensi
supply dikurang atau tidak di tahun ini. Selain itu, ketidakpastian faktor eksternal juga sudah harus menemui titik terang. Mulai dari konflik Rusia-Ukraina, sikap dan kebijakan The Fed, serta angka inflasi yang mulai bisa dikendalikan oleh bank sentral global. Hal tersebut berpotensi membuat pasar kembali bergerak positif dan Indonesia jadi pilihan kembali para investor asing. “Untuk
yield SBN 10 tahun, masih berpotensi bergerak ke arah 6,2%-6,5% untuk akhir tahun ini. Jika dari level
yield saat ini, maka obligasi negara jadi mempunyai outlook yang positif,” tutup Dimas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati