Begini Efek Kenaikan Harga Pertalite Terhadap Kinerja Emiten



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan mengerek harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite. Kebijakan ini dinilai akan memberi efek domino ke banyak sektor, termasuk kinerja emiten di bursa.

Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana menilai, kenaikan harga BBM subsidi ini akan membuat inflasi naik signifikan. Menurut Wawan, kenaikan harga BBM subsidi memiliki efek domino ke banyak sektor, termasuk sektor konsumer.

“Kenaikan ini akan memukul pendapatan emiten,” terang Wawan kepada Kontan.co.id, Kamis (18/8).


Di sisi lain, Indonesia masih berupaya bangkit pasca pembatasan mobilitas selama pandemi. Dengan pemerintah yang terus memperoleh surplus perdagangan, menurut Wawan, pemerintah bisa saja memilih untuk mempertahankan harga guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Harga BBM Jenis Pertalite Dikabarkan akan Naik, Ini Kata Menteri BUMN

Hingga kuartal II-2022, laporan keuangan emiten barang konsumer rata-rata mencatatkan kenaikan penjualan. Ini artinya, konsumsi masyarakat meningkat. Tren ini diharapkan akan terus berlanjut hingga akhir tahun. 

“Saya lebih melihat pembatasan pertalite bertahap dibanding langsung menaikkan ke Rp 10.000,” sambung Wawan.

Senada, Analis Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana menilai, tentunya rencana peningkatan harga pertalite akan sangat mempengaruhi masyarakat luas. Hal ini karena banyak masyarakat yang menggunakan BBM jenis ini.

Analisis Raditya, banyak produsen juga yang memanfaatkan pertalite sebagai bahan bakar mesin produksinya. 

“Rencana kenaikan harga pertalite tentunya akan membebani masyarakat dan membebani margin produsen apabila tidak meningkatkan harga jualnya," terang Raditya.

Menurut Raditya, kenaikan harga pertalite akan menipiskan margin emiten, membuat emiten berpotensi meningkatkan harga jual sehingga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. 

Hal ini karena inflasi tentunya juga akan terkerek naik seiring meningkatnya harga pertalite.

Selain emiten barang konsumsi, kenaikan harga BBM juga ini akan berdampak negatif kepada emiten transportasi berbasis penumpang seperti taksi dan ojek online. Karena biasanya kenaikan harga BBM akan diikuti dengan kenaikan harga jasa.

Kepala Riset Jasa Utama Capital Sekuritas Cheril Tanuwijaya mengatakan, kenaikan harga BBM bisa menekan daya beli masyarakat, sehingga penjualan emiten di sektor retail juga bisa terganggu. Namun, emiten konsumer primer masih bisa bertahan seiring sifatnya yang merupakan kebutuhan pokok.

“Menurut saya sebaiknya harga BBM ditunda kenaikannya. Toh juga harga komoditas minyak sedang dalam trend penurunan akibat resesi global,” kata Cheril.

Baca Juga: Anggaran Subsidi dan Kompensasi Energi Tahun Depan Dipatok Rp 336,7 Triliun

Direktur Utama PT Siantar Top Tbk (STTP) Armin mengatakan, kenaikan harga pertalite tidak begitu berdampak terhadap biaya distribusi. Sebab, armada yang digunakan untuk proses pengakutan menggunakan BBM jenis diesel. 

“Kalau diesel yang naik, pasti berpengaruh terhadap distribusi karena banyak mobil yang pakai diesel,” kata Armin.

Hanya saja, sektor barang konsumsi saat ini menhadapi kondisi kenaikan harga bahan baku, seperti gandum dan minyak sawit alias crude palm oil (CPO). Armin menilai, sejauh ini harga komoditas tersebut masih tetap tinggi.

“Jadi ini kelihatannya (harga komoditas lunak) mau turun seperti semula tidak gampang, kemungkinan kecil menurut saya karena ini pengaruhnya ke dunia,” sambung dia. 

Toh, kebijakan menaikkan harga jual juga tidak mudah karena mempertimbangkan efek kenaikan inflasi dan tertekannya daya beli masyarakat.

Sementara itu, PT Blue Bird Tbk (BIRD) masih wait and see terhadap rencana kenaikan harga BBM jenis pertalite. 

“Kami masih perlu mengkaji dan menunggu kenaikannya berapa dan bagaimana,” terang Sigit Djokosoetono, Direktur Utama Blue Bird kepada Kontan.co.id, Kamis (18/8).

Dari sisi saham, Wawan menilai emiten barang konsumsi masih menarik. Saat ini Wawan masih merekomendasikan buy sejumlah saham consumer seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Unilever Indonesia Tbk (INDF).

Investor disarankan beli dengan jangka investasi menengah hingga tiga tahun. Sebab, masa kampanye dan pemilihan umum (pemilu) yakni di tahun 2023-2024 biasanya akan mendorong aktivitas konsumsi.

Sementara itu, Raditya merekomendasikan buy on weakness saham INDF di level Rp 6.200, dengan target Rp 7.300 dan buy on weakness saham BIRD di level Rp 1.530 dengan target Rp 1.950. 

Cheril merekomendasikan saham ICBP dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi