KONTAN.CO.ID - TANGERANG SELATAN. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan gambaran permintaan dan pasokan listrik sampai dengan 2060 merujuk pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang baru. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman Hutajulu menjelaskan, dokumen RUKN disusun berdasarkan pasokan dan permintaan energi menuju net zero emission (NZE) pada 2060. Proyeksi permintaan listrik ini menentukan kebutuhan pembangkit dan infrastruktur ketenagalistrikan. Melansir materi paparannya, kebutuhan listrik pada 2024 hingga 2060 diperkirakan tumbuh rata-rata berkisar 3,6% (skenario rendah) hingga 4,2% (skenario tinggi) per tahun, dengan skenario moderat sekitar 3,9% per tahun.
Konsumsi listrik per kapita pada tahun 2060 diperkirakan akan berkisar 4.000 kWh pada skenario rendah, sekitar 5.000 kWh pada skenario tinggi, dan sekitar 4.500 kWh dalam skenario sedang. “Kebutuhan listrik pada 2060 diperkirakan akan didominasi oleh sektor industri sekitar 47%,” jelasnya dalam acara pembukaan Enlit Asia 2023 di ICE BSD, Selasa (14/11). Kemudian disusul sektor rumah tangga sebesar 21%, bisnis 15%, kendaraan listrik 7%, publik 5%, dan fasilitas produksi hidrogen hijau untuk sektor industri dan transportasi sebesar 4%.
Baca Juga: AESI: Pemasangan PLTS Atap di Beberapa Wilayah Masih Terkendala Proyeksi permintaan ini, telah memperhitungkan kebutuhan listrik di Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), smelter, Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), dan Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP). Untuk memenuhi kebutuhan listrik tersebut khususnya dari sumber-sumber hijau, produksi listrik akan didominasi oleh beragam jenis pembangkit Sumber Energi Terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, angin, pasang surut, tenaga air, bioenergi, panas bumi, amonia (NH3), dan hidrogen (H2). Gambarannya, pada tahun 2060 sebanyak 88% produksi listrik diperkirakan berasal dari EBT dengan perincian 23% dari energi baru dan 65% dari energi terbarukan. Adapun Variable Renewable Energy (VRE) menyumbang 27% dan non-VRE sebesar 38%. Kemudian bahan bakar fosil dengan Carbon Capture and Storage (CCS) akan berkontribusi sebesar 12%. Melansir materi paparannya, di dalam perencanaan 23% energi baru, pemerintah mencanangkan amonia akan berkontribusi 14%, hidrogen 5%, nuklir 4%, dan limbah panas (
waste heat) 0,3%. Jisman menyebut, pembangkit nuklir akan mulai komersial pada 2039 untuk meningkatkan keandalan sistem tenaga listrik dan kapasitasnya akan ditingkatkan menjadi 31 GW pada 2060. Kemudian pada 27% energi terbarukan, akan mencakup tenaga surya sebesar 16%, tenaga angin 11%, dan arus laut (tidal power) 0,1%. “Di dalam RUKN tersebut ada PLTS yang akan dikembangkan secara masif pada 2030 diikuti pengembangan pembangkit bayu (angin) pada 2037. PLTS akan lebih banyak dikembangkan karena modalnya relatif lebih rendah,” ujarnya.
Baca Juga: PTPN III Teken MoU Bersama PLN Tingkatkan Tenaga Listrik Ramah Lingkungan Kemudian untuk 38% energi terbarukan non-VRE akan terdiri dari pembangkit listrik tenaga air sebesar 24%, panas bumi sebesar 11%, dan bioenergi sebesar 3%. Jisman menyatakan, khusus pengembangan panas bumi akan dilakukan secara bertahap dan meningkat signifikan menjadi 22 GW melalui pengembangan PLTP yang lebih modern dan panas bumi non-konvensional.
Adapun untuk 12% bahan bakar fosil akan terdiri dari batubara dengan CCS sebesar 10% dan gas dengan CCS sebesar 2%. Sampai dengan 2030, produksi batubara diperkirakan akan meningkat dan mulai terjadi penurunan akibat pemensiunan dini PLTU, dan retrofit menggunakan amonia. Amonia diperkirakan akan dikonsumsi secara bertahap mengganti sebagian batubara mulai tahun 2045. Lantas peran gas akan dihapuskan secara bertahap dan digantikan oleh hidrogen (H2) mulai tahun 2051. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari