KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM), Teten Masduki menolak platform media sosial asal China, TikTok dalam menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, penolakan terhadap bisnis media sosial dan e-commerce juga dilakukan oleh negara Amerika Serikat dan India. Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, adanya pelarangan terhadap TikTok Shop itu merupakan larangan memiliki layanan media sosial dan e-commerce. TikTok dapat membuat aplikasi terpisah untuk layanan e-commerce sendiri. Konsekuensi dari adanya larangan ini adalah terjadinya pergeseran, yang pada awalnya masyarakat membeli di TikTok Shop menjadi belanja di platform lain atau kembali ke toko fisik.
Baca Juga: Bukan Karena Barang Impor, Akumindo Ungkap Alasan Sebenarnya Tolak Tiktok Shop “TikTok tinggal bikin aplikasi terpisah seperti Tokopedia, Lazada, dan Shopee, gitu, sosial medianya tidak bisa digunakan untuk memperdagangkan barang yaitu mungkin juga jadi konsekuensinya kalau dipisah jadi apakah nanti akan ada pengurangan saya pikir yang terjadi pergeseran aja yang terjadi adalah pergeseran masyarakat kembali lagi misalnya belanja secara online atau belanja di toko fisik” ungkap Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (6/9). Bhima juga mengatakan, kalau dilihat dari porsi di commerce, social commerce ini hanya baru 5% dari total retail secara nasional. Para pedagang di TikTok Shop relatif sama dengan di e-commerce lain. Oleh karena itu, yang terjadi bukan kehilangan potensi perdagangan, tetapi pergeseran kembali ke alternatif tempat berdagang lain. Isu mengenai larangan TikTok Shop ini juga bermula dari adanya “Project S”. Melansir dari Financial Times, Project S merupakan langkah yang dilakukan TikTok untuk menjual barang mereka sendiri. Hal ini sempat menjadi kekhawatiran di Inggris sehingga adanya pemisahan antara media sosial dengan platform komersial. Indonesia mungkin mengantisipasi hal tersebut terjadi. Selain itu, menurut Bhima, adanya pemisahan antara media sosial dan e-commerce juga tidak jauh dengan ranah legalitas. Media sosial di bawah ranah dari Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) sedangkan e-commerce di bawah ranah dari Kementerian Perdagangan. Adanya pemisahan ini membuat pengawasan lebih mudah. “Sebenarnya Ini masalah legalitas aja masalah pemisahan sosial media sosial media isinya di bawah Kominfo kalau e-commerce ya dia harus ada di bawah Kementerian Perdagangan jadi pengawasannya jadi lebih gampang Kalau enggak nanti pengawasannya susah” tutur Bhima. Terdapat dua jenis UMKM, yaitu UMKM sebagai penjual reseller dan dropshipper dan UMKM produsen. Untuk UMKM penjual, adanya larangan TikTok Shop ini seharusnya mereka dapat berpindah ke berbagai platform lain. Berbeda dengan UMKM produsen, banyaknya barang impor ini lah yang harus diperhatikan bagaimana daya saing pelaku UMKM produsen.
Baca Juga: TikTok Dilarang Jalankan Bisnis Medsos dan E-Commerce Bersamaan, Ini Respons Akumindo “Kalau UMKM sebagai penjual dulu reseller dropshipper, gitu, ya, kemudian yang live streaming di TikTok Shop itu sih sebenarnya dia berpindah berbagai platform yang menjadi masalah tuh sebenarnya UMKM produsen ini, karena baik di platform di e-commerce konten barang impornya kan tinggi sekali, kosmetik tinggi sekali, gitu, aksesoris impornya tinggi, elektronik impornya tinggi, sparepart otomotif motor juga tinggi. Nah, sehingga, yang harus diperhatikan, nih, gimana daya saing dari pelaku UMKM produsen,” ujar Bhima. Jika dibandingkan dengan China, menurut Bhima, mereka dapat menjadi produsen yang efektif karena suku bunga pinjaman bagi UMKM-nya rendah. Untuk di Indonesia, di luar KUR, rata-rata suku bunga pinjaman UMKM bisa di atas 20%. Tidak hanya itu, logistik Indonesia juga terfragmentasi jika dibandingkan dengan China. Di China, terdapat program “TaoBao Village”, desa-desa yang terkait dengan program Rural Taobao dari perusahaan e-commerce raksaksa China, Alibaba Grup. Mereka terintegrasi antara logistik dan bahan baku sehingga menjadi lebih efisien. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .