Begini komentar investor soal rencana pembatasan auto reject atas saham IPO



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) berencana mengatur pergerakan harga initial public offering (IPO) di tahun depan. Otoritas berniat membatasi lonjakan harga IPO menjadi hanya 20%-30%. Dengan demikian, kenaikan harga saham IPO tidak akan setinggi saat ini.

Selama ini kenaikan tinggi harga IPO ini kerap dimanfaatkan pelaku pasar, terutama investor ritel untuk menjaring cuan atau untung. Bahkan investor-investor yang memburu saham-saham berpotensi auto reject atas (ARA) dijuluki sebagai ARA hunter.

Investor tipe ini kerap mengincar saham-saham IPO, karena saham IPO di bursa mayoritas selalu mencetak ARA di beberapa hari perdagangan pertama.


Rencana BEI dan OJK mengatur harga IPO tersebut tentu akan membatasi keuntungan mereka.

Salah seorang investor yang bernama Faisal mengutarakan ketidaksetujuannya atas rencana penerapan kebijakan tersebut. Dia bilang, kebijakan tersebut otomatis akan merugikan para investor ritel. Alasannya karena OJK dan BEI cuma fokus kepada kenaikan harga saham, sementara saat ada penurunan tidak ada tindak lanjut.

"Jadi, OJK dan BEI jangan hanya fokus kepada auto reject atas tapi perlu juga menetapkan auto reject bawah sehingga ada keseimbangan bagi pergerakan harga saham IPO," ujarnya kepada kontan.co.id saat ditemui di kantor Biro Administrasi Efek PT Adimitra Jasa Korpora, Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (23/11).

Lebih lanjut Faisal bilang, OJK dan BEI juga perlu memantau kinerja para penjamin emisi efek sehingga mampu memberikan kontribusi yang positif bagi para investor baik yang institusi maupun ritel. "Jangan hanya mau ambil untung sendiri," ungkapnya.

Da pun mengakui bahwa selama ini ia cukup aktif berinvestasi di saham-saham IPO. Akan tetapi, Faisal tak serta merta langsung melakukan eksekusi karena tergiur dengan oversubscribed (kelebihan permintaan) semata.

Tapi yang ia lakukan adalah mengecek terlebih dahulu soal kinerja keuangan, harga penawaran sahamnya, tujuan dari IPO hingga sekuritas yang bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi efek. "Jika menurut saya bagus dan cocok, barulah saya eksekusi," tambahnya.

Selain saham IPO, ia juga mengoleksi saham-saham yang memiliki fundamental yang bagus terutama saham-saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti saham PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) maupun saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

Di kesempatan yang sama, salah seorang investor yang bernama Ardin turut mengungkapkan pendapat yang senada. Ia juga menyampaikan keberatannya atas rencana kebijakan yang tengah digodok oleh OJK dan BEI tersebut.

"Jika aturan ini jadi diterapkan maka yang paling merasakan efeknya adalah kami, para investor ritel karena umumnya main saham-saham IPO yang memang naik drastis pada beberapa hari pertama," paparnya.

Lebih lanjut, Ardin bilang sebenarnya pembatasan harga saham ini boleh dilakukan asalkan bisa memberikan dampak yang baik bagi investor ritel maupun institusi. "Ya caranya BEI dan OJK perlu memberikan batas harga yang wajar baik untuk auto reject atas dan juga auto reject bawah sehingga ada balance bagi pergerakan harga saham IPO," ungkapnya.

Selain berinvestasi di saham IPO, Ardin juga mengoleksi saham sektor perbankan dengan alasan saham-saham tersebut memiliki fundamental yang stabil sehingga cocok untuk investasi jangka panjang. Saham-sahamnya seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).

Ia juga turut mengoleksi saham sektor consumer goods seperti PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) maupun PT Mayora Indah Tbk (MYOR) dengan alasan kebutuhan konsumsi di Indonesia masih cukup besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati