KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Schroder Indonesia meyakini industri pasar modal tanah air cukup solid tahun ini. Perekonomian global dinilai menunjukkan pemulihan ditambah ekonomi domestik yang masih
resilient. Investment Director Schroder Indonesia Irwanti mengatakan bahwa tahun 2023 masih akan menjadi tahun yang solid bagi Indonesia meskipun tidak secerah tahun 2022. Dari pasar saham, sektor komoditas dan konsumer akan menopang penguatan. Harga komoditas memang akan mulai mengalami normalisasi, terutama harga batu bara. Kinerja sektor energi mungkin tidak akan sebaik tahun lalu.
Hal itu akan berdampak pada pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan pertumbuhan pendapatan perusahaan. Schroder memperkirakan pertumbuhan PDB 2023 akan sedikit menurun menjadi sekitar 5,0%
year-on-year (YoY) karena pertumbuhan ekspor bakal melemah.
Baca Juga: Manulife Aset Manajemen: Indonesia Jauh dari Kemungkinan Resesi Namun, Irwanti bilang, sektor komoditas masih mampu mendorong pertumbuhan pendapatan perusahaan yang diperkirakan masih bisa mencetak kinerja dua digit. Di sisi lain, sektor konsumer bakal naik tinggi pada tahun 2023. Konsumsi dan investasi akan menjadi pendorong pertumbuhan. "Tekanan terhadap daya beli akibat inflasi dapat menimbulkan risiko. Namun, inflasi terbukti lebih rendah daripada ekspektasi pasar sejak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terjadi," ujar Irwanti dalam media gathering, Rabu (18/1). Margin perusahaan konsumer bakal lebih terjaga menyusul harga
soft commodities atau bahan baku yang lebih rendah seperti harga kedelai yang sudah tidak setinggi awal tahun 2022.
Baca Juga: Suku Bunga Tinggi, Pasar Obligasi Masih Moncer di Tahun 2023 Terlebih, lanjut Irwanti, ada sentimen dari kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2023 yang bisa meningkatkan konsumsi masyarakat. Tak kalah penting, sentimen pemilihan umum (umum) akan mendongkrak konsumsi dari perputaran uang atas pesta demokrasi di tanah air. Sektor lainnya yang tidak boleh dilewatkan adalah perbankan mengingat likuiditas yang masih lumayan. Schroder melihat kinerja emiten perbankan berkapitalisasi besar masih bisa meraih pertumbuhan sekitar 20% di tahun ini. "Perbankan dan konsumen seharusnya menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan pendapatan karena pertumbuhan pinjaman meningkat," imbuh Irwanti. Sementara, Irwanti menambahkan, sektor teknologi dianggap masih akan tetap berada di bawah tekanan karena kondisi suku bunga yang tinggi berdampak negatif bagi sektor tersebut. Tetapi, setiap indikasi dari Fed untuk melakukan
pivoting atau penurunan inflasi dan suku bunga akan menjadi katalis positif.
Baca Juga: Investasi Berbasis ESG Ikut Terdampak Tekanan Ekonomi Global Dari pasar obligasi, Head of Fixed Income Schroder Indonesia Soufat Hartawan mencermati bahwa tahun 2023 risiko yang menimpa pasar surat utang tanah air cenderung turun. Tahun lalu, investor berbondong-bondong keluar dari obligasi Indonesia tapi mulai terpantau masuk lagi di tahun 2023. "Pasar obligasi Indonesia lebih baik dari tahun lalu karena potensi rotasi investor global. Dimana, investor asing melihat pasar surat utang Indonesia lebih kuat hadapi resesi global," kata Soufat dalam kesempatan yang sama, Rabu (18/1). Buktinya, kondisi makro ekonomi sangat baik di tengah gonjang-ganjing inflasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa struktur anggaran membaik, penyetoran pajak meningkat serta aktivitas ekspor impor mencetak surplus yang didukung oleh
downstream community. Secara fundamental, aktivitas
downstream yang fokus pada hilirisasi dinilai berdampak positif bagi komoditas. Selain itu, mata uang rupiah diperkirakan bakal lebih kuat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Kerentanan rupiah berkurang seiring Bank Sentral global sudah dekat fase terakhir pengetatan moneter. "Dengan demikian, dana asing bisa masuk lagi ke Indonesia. Ini berita baik bagi obligasi," tutur Soufat.
Baca Juga: Schroder Catatkan Dana Kelolaan Rp 66,64 Triliun Hingga Akhir September Selaku manajer investasi (MI), Schroder melihat bahwa reksadana berbasis obligasi bakal diminati di tahun 2023. Kinerjanya diyakini bisa menyeimbangkan performa reksadana saham kelolaan Scroder yang jadi kelas aset unggulan. Soufat menyebutkan sentimen positif bagi pasar obligasi ialah dana asing yang kembali masuk ke instrumen surat utang tanah air karena melihat fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Minat investor domestik juga mampu menutupi kaburnya investor asing selama dalam dua tahun terakhir sehingga pasar obligasi Indonesia tidak terbenam cukup dalam. Sebagai catatan, sebelum pandemi, porsi dana asing hampir 40% di Surat Utang Negara (SUN), namun pasca pandemi turun menjadi sekitar 14% di posisi saat ini.
Baca Juga: Taktik Industri Reksadana Mengejar Kinerja Apik, Siasati Risiko Inflasi Di samping itu, implementasi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) bisa menguatkan ekonomi Indonesia yang berujung pada penguatan rupiah. Dana hasil ekspor yang parkir di luar negeri dapat dimaksimalkan untuk mendorong pertumbuhan nilai tukar rupiah di hadapan mata uang asing, terutama dolar AS. Schroder tengah menggaungkan kembali untuk investor membeli obligasi lewat reksadana bukan membeli obligasi secara langsung. Soufat menuturkan, jika membeli obligasi lewat reksadana maka investor lebih mendiversifikasikan produknya ketimbang hanya SUN. Satu produk reksadana pendapatan tetap kelolaan Schroder diisi oleh sekitar 40 jenis obligasi yang dinilai memiliki tingkat risiko kecil karena lebih terdiversifikasi. Secara keseluruhan, Schoder melihat kinerja pendapatan tetap dan kinerja reksadana saham akan seimbang di tahun 2023. Namun secara jangka panjang reksadana berbasis saham lebih prospektif. Sebab, potensi
return dari obligasi sudah tertakar berbeda dengan saham yang penuh volatilitas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati