Begini Pengaruh Oversupply Listrik Terhadap Program Pensiun Dini PLTU



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses ambil alih PLTU Pelabuhan Ratu yang akan dilakukan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dari PT PLN masih berkutat pada proses due diligence. Beberapa poin yang masih dibahas dalam proses tersebut ialah perjanjian jual beli tenaga listrik, nilai aset, dan pendanaan.

Kabarnya negosiasi harga listrik ini masih terus dibahas menimbang adanya kondisi kelebihan supply listrik atau oversupply yang terjadi saat ini dan dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini menjadi satu masalah tersendiri yang memberatkan PLN karena terikat kontrak Take or Pay (TOP) untuk listrik yang dihasilkan dari pembangkit.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana memaparkan, kondisi kelebihan listrik ini tidak akan berpengaruh pada program pemensiunan PLTU ke depannya.


Oversupply listrik diperkirakan berakhir di 2028-2029 dan pensiun dini jatuhnya setelah itu. Ini pensiun dini bukan penutupan langsung,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (16/4).

Dadan mengungkapkan, PLTU Pelabuhan Ratu merupakan salah satu pembangkit yang diprioritaskan untuk pensiun dini. Saat ini Kementerian ESDM sedang mengkaji terkait regulasi khususnya untuk pengalihan aset dan penetapan kontrak jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA).

Baca Juga: Pengalihan PLTU Pelabuhan Ratu Tertahan, Bagaimana Nasib Program Pemensiunan PLTU?

Perihal pendanaan pemensiunan dini, Dadan mengakui diharapkan PLTU Pelabuhan Ratu bisa mendapatkan pendanaan dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP).

Penjelasan yang kurang lebih sama dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa.

Fabby menjelaskan secara umum tujuan PLN melakukan pemensiunan dini PLTU untuk mendorong transisi energi. Melalui penjualan aset pembangkit batubara, PLN bisa mendapatkan dana tambahan untuk berinvestasi ke energi hijau. Bahkan melalui upaya ini, PLN bisa mengurangi risiko terjadinya kelebihan listrik.

Berkaca pada persoalan pemensiunan PLTU Pelabuhan Ratu yang saat ini belum juga menemukan titik tengah, Fabby melihat masih ada sejumlah hal yang dinegosiasikan yakni perjanjian jual beli listrik (PJBL), nilai aset, dan pendanaan yang tersedia di mana  hal ini berhubungan erat dengan kondisi suku bunga.

PLTU Pelabuhan Ratu akan dibeli oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) supaya bisa dipensiunkan 9 tahun lebih awal, di mana seharusnya umur pembangkit 24 tahun, masa operasinya akan dipangkas menjadi 15 tahun.

Perihal nilai asetnya, PLN menawarkan nilai aset PLTU Pelabuhan Ratu senilai US$ 400 juta. Adapun PTBA akan menimbang penjualan listrik untuk mendapatkan dana pengembalian investasi.

“Seharusnya kesepakatan jual beli aset sudah sepaket dengan perjanjian jual beli tenaga listrik karena kemudian valuasi dari nilai aset juga tergantung pada kontrak PPA untuk 15 tahun ke depan, berapa tarif listriknya, bagaimana kondisinya sehingga investasi PTBA bisa kembali,” jelasnya kepada Kontan.co.id saat dihubungi terpisah.

Adapun yang bisa dinegosiasikan di dalam PPA itu ialah kapasitas listrik yang wajar di mana PLN ingin menurunkan capacity factor (CF).

Baca Juga: Soal Kelanjutan Proses Alih Kelola PLTU Pelabuhan Ratu, Begini Kata Pengamat

Selain itu, untuk bisa dipensiunkan dari 24 tahun menjadi 15 tahun, suku bunga juga turut menentukan bunga dari pendanaan yang akan digunakan PTBA. Tentu pihak pembeli mencari sumber dana dengan bunga pinjaman rendah.

Fabby melihat due diligence yang dilakukan secara komperehensif dilakukan PTBA  karena berhubungan dengan aset BUMN. Dia menilai perlu juga ada review dari Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan terkait aksi korporasi ini.

Di sisi lain, pemensiunan PLTU Pelabuhan Ratu dan pembangkit lainnya yakni PLTU Pacitan telah ditentukan menjadi pilot project bagi program pemensiunan dini pembangkit batubara lainnya. Jika nantinya menggunakan Mekanisme Transisi Energi atau Energy Transition Mechanism (ETM)  tidak berjalan, maka pemerintah bisa menggunakan skenario pengalihat aset melalui cara lain.

“Bisa jadi aset BUMN langsung dijual ke swasta saja dan menggunakan mekanisme lain misalnya saja INA/SWF atau JETP,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari