KONTAN.CO.ID - Kepala Ekonom Bank Permata Joshua Pardede menilai pemberlakuan PPN 12% sebagai langkah strategis dari pemerintah namun penuh tantangan. Menurutnya, kenaikan PPN ini bertujuan untuk memperkuat ruang fiskal guna mendukung keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. “Langkah ini juga diiringi asas keadilan, karena barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum tetap bebas PPN, sehingga beban masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dapat diminimalkan,” kata Joshua kepada Tim Kontan pada Senin (23/12). Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12), menyatakan kebijakan PPN 12% bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
“Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” ujar Menkeu Sri Mulyani. Data Kemenkeu mengungkapkan saat ini setengah dari insentif PPN dinikmati masyarakat mampu. Contoh kelompok barang mewah yang sebelumnya dibebaskan PPN misalnya daging premium seperti wagyu dan daging kobe. Begitu pula dengan jasa premium seperti sekolah internasional dan layanan kesehatan VIP. Dengan memberlakukan PPN pada kelompok barang dan jasa tersebut, sementara di sisi lain membebaskan PPN pada kebutuhan pokok, ada prinsip keadilan dan gotong royong dalam kebijakan PPN 12%. Hal tersebut menjadi bagian dari pertimbangan pemerintah untuk menaikkan PPN ketimbang pajak penghasilan (PPh) untuk mengoptimalkan penerimaan pajak negara. Basis pajak PPh lebih kecil dibandingkan PPN, karena hanya dikenakan pada wajib pajak tertentu. Dengan demikian, potensi penerimaan penerimaan negara dari PPh lebih terbatas dibandingkan PPN yang berlaku luas. Pandangan senada juga dikemukakan Yustinus Prastowo, pengamat ekonomi dan perpajakan, dalam acara “Wacana PPN 12%: Solusi Fiskal atau Beban Baru Bagi Masyarakat?” di Jakarta, Sabtu, 14 Desember 2024. “Kalau mengenakan pajak penghasilan tidak adil, orang bisnisnya rugi, suruh bayar pajak. Kenapa kok PPN? Kalau PPh, perusahaan enggak profit. PPN semua membayar, ada (prinsip) gotong-royong. Untuk kebutuhan pokok tetap 0%. Jasa kesehatan, pendidikan dan transportasi tetap bebas PPN,” tandasnya. Dalam diskusi tersebut Yustinus mengutip buku
The Death of Income Tax karya Daniel Goldberg yang menguraikan kompleksitas pengenaan pajak penghasilan. “Pajak penghasilan itu rumit, sulit, karena orang kaya semakin kaya, semakin pintar menghindari pajak. Orang pajaknya kalah pintar dan kalah canggih. Lalu pendekatannya apa? Konsumsi saja, karena orang kaya, menengah, miskin pasti belanja,” beber Yustinus. Alhasil, menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% dinilai pemerintah akan lebih baik dibandingkan menaikkan tarif pajak lainnya seperti PPh.
Kebijakan ini akan memperkuat penerimaan negara di APBN sehingga dapat mendukung keberlanjutan pembangunan nasional, termasuk membiayai program-program pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat kurang mampu. Pemerintah memperkirakan potensi penerimaan pajak dari kenaikan tarif PPN sebesar Rp75,29 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal