KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri hulu migas memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian nasional seiring pemenuhan kebutuhan energi sekaligus mendorong pertumbuhan industri lain, termasuk industri petrokimia. Hal ini karena industri hulu migas adalah sumber utama bahan baku untuk produksi petrokimia. Ketua Umum Federasi industri kimia Indonesia Suhat Miyarso mengatakan, industri petrokimia yang masuk kategori industri hijau, memegang peranan penting untuk perkembangan industri dalam negeri, karena berbagai produk petrokimia diperlukan untuk produk-produk sektor hilir, dari furniture rumah tangga, pipa air, kabel listrik, kemasan makanan dan minuman, otomotif, peralatan medis, perlengkapan pertanian, hingga alat perikanan. Klaster industri petrokimia menjadi salah satu prioritas pemerintah Indonesia dalam program industri 4.0. Sektor ini turut menjadi fondasi industri nasional seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
Bahan baku utama dalam produksi petrokimia adalah minyak bumi dan gas alam. Setelah bahan baku diekstraksi dan diproses oleh industri hulu migas, bahan baku kemudian diolah menjadi berbagai macam produk petrokimia seperti bahan plastik, serat sintetis, bahan kimia, pupuk, kosmetik, dan berbagai bahan kimia lainnya.
Baca Juga: Selama Arus Mudik Lebaran 2023, Konsumsi BBM Meningkat Signifikan Oleh karena itu, tanpa industri hulu migas yang memasok bahan baku, produksi petrokimia tidak akan berjalan dengan lancar. Industri hulu migas juga memiliki peran penting dalam mengembangkan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam produksi petrokimia. Dengan demikian, nilai strategis industri hulu migas sangat penting dalam industri petrokimia dan dapat mempengaruhi ketersediaan dan harga bahan baku serta kemampuan industri petrokimia untuk memenuhi permintaan pasar. Presiden Joko Widodo sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 74/2022 tentang Kebijakan Industri Nasional 2020-2024, yang mengatur mengenai sasaran pembangunan industri migas. Melalui Perpres itu, pemerintah menargetkan untuk melakukan peningkatan pemanfaatan, penyediaan, dan penyaluran kimia berbasis migas dan batu bara. Pasalnya, nafta atau naphtha, sebagai bahan baku utama industri petrokimia masih sepenuhnya diimpor sebesar 2,5 juta ton tiap tahunnya. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah akan melakukan pembangunan refinery nafta dan kondensat untuk bahan baku pengolahan olefin aromatik dan poliolefin, yang merupakan senyawa organik yang terdiri dari satu atau lebih unit monomer olefin dan memiliki sifat elastis, tahan terhadap bahan kimia, ringan, dan lazim digunakan dalam produk industri maupun barang konsumen. Pembangunan refinery nafta tersebut nantinya akan memiliki kapasitas masing-masing 300 ribu barel per hari untuk mengimbangi peningkatan produksi olefin (dihasilkan dari proses pemisahan minyak bumi atau produksi gas alam, serta sintesis kimia dan dapat digunakan sebagai bahan baku dalam produksi polyolefin) dalam negeri. Hingga Oktober 2022, kinerja ekspor dari industri kimia menunjukkan capaian yang gemilang, yakni sebesar US$18,5 miliar atau naik 20% jika dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sedangkan pada 2023, nilai ekspor industri kimia ditargetkan mencapai US$ 25 miliar.
Baca Juga: Begini Penjelasan BPH Migas Soal SPBU yang Berlakukan Pembatasan Pembelian Pertalite Adapun kapasitas produksi petrokimia nasional saat ini berkisar 7,1 juta ton per tahun (2022) dan impor produk kimia yang juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada 2020. Pertamina sendiri sudah memasang target untuk menaikkan kapasitas produksi petrokimia dari sekitar 1,66 juta ton pada 2022, menjadi 8 juta ton pada 2027 melalui sejumlah proyek. Pemerintah menargetkan Indonesia dapat menjadi negara produsen petrokimia nomor satu di ASEAN. Kebutuhan petrokimia nasional terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri manufaktur dan sektor konstruksi di Indonesia.Beberapa faktor seperti permintaan pasar, produksi petrokimia domestik, harga bahan baku, dan persaingan global juga dapat mempengaruhi volume kebutuhan petrokimia di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun sempat menyinggung peran penting industri hilir migas di sela-sela sebuah forum internasional pada 2021. Airlangga menilai sektor ini menjadi bagian dalam peningkatan multiplier effect bagi industri hilir seperti pupuk dan petrokimia. “Kementerian ESDM sudah memberikan dukungan harga gas pada industri tertentu agar kompetitif sehingga banyak sektor hilir yang mampu bersaing dan mengekspor produknya. Kebijakan tersebut perlu diapresiasi dan diharapkan hilir dari kegiatan hulu migas dapat berkembang sehingga tidak hanya berkontribusi pada pendapatan negara, tetapi juga memberikan efek penciptaan lapangan pekerjaan dan mendorong ekonomi makro," ujar Airlangga.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun turut mendukung upaya pemerintah memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. Langkah ini bertujuan untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi. Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Agus Budianto mencontohkan insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk gas yang sedang dikembangkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat. Dengan insentif yang diberikan pemerintah, Kontraktor KKS (sebagai produsen) dapat menyesuaikan harga gas dari US$ 5 per million british thermal unit (MMBTU) menjadi US$ 4 per MMBTU, sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari