KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi sumber energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia yang besar dan belum tereksplorasi dengan maksimal. Alhasil, sejumlah pihak berlomba-lomba masuk ke bisnis ini, termasuk perusahaan swasta. Sejumlah perusahaan swasta pun mulai mengembangkan pembangkit listrik bertenaga EBT. Upaya swasta dalam mengeksplorasi potensi EBT di Indonesia juga tak terlepas dari komitmen pemerintah mengejar target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
Dari catatan Kontan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatatkan realisasi investasi sektor Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) hingga Juni 2024 mencapai US$ 565 juta atau setara 45,86% dari target. Di sisi lain, PT PLN (Persero) juga sedang bolak-balik promosi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Menurut catatan Kontan, rancangan ini diklaim lebih hijau dan sesuai dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terbaru.
Baca Juga: REC PLN dan Upaya Mewujudkan Listrik Hijau di Industri Tanah Air Meskipun masih terkesan lambat, upaya tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi sejumlah pihak untuk ikut mengembangkan pembangkit listrik bertenaga EBT. Misalnya saja PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO) yang terjun mengembangkan pembangkit listrik EBT melalui anak usahanya, PT Adaro Power. Alasan Adaro Power terjun ke bisnis adalah potensi EBT di Indonesia yang mencapai hingga 4 Tera Watt (TW) atau sekitar 3.687 Gigawatt (GW). Menurut RUPTL PLN yang terakhir, permintaan listrik Indonesia diproyeksikan akan tumbuh rata-rata 4,9% pada periode 2021-2030. Walaupun di bawah proyeksi pertumbuhan RUPTL sebelumnya, angka tersebut masih memproyeksikan tambahan kapasitas 40,6 GW. Tambahan 40,6 GW ini terdiri dari 51,6% atau 20,9 GW energi terbarukan. Sehingga, RUPTL ini adalah yang terhijau dalam sejarah PLN. Tak hanya itu, RUPTL juga menganggarkan 64,8% dari 20,9 GW untuk dipasok pembangkit swasta (IPPs). “Bagi Adaro, RUPTL PLN adalah referensi bauran energi Indonesia yang dipertimbangkan dalam mengembangkan rencana pertumbuhan bisnis ketenagalistrikan,” ujar Presiden Direktur PT Adaro Power, Dharma Djojonegoro, kepada Kontan. Adaro melihat, ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menerapkan proyek EBT. Salah satunya, bisnis hijau memerlukan waktu dan proses yang tidak sebentar dan investasi yang tinggi. “Pemerintah pun telah mendorong pengembangan proyek EBT melalui serangkaian kebijakan dan regulasi yang mendukung pengembangan EBT,” paparnya. Hal tersebut pun membuat Adaro optimistis dalam memandang masa depan bisnis energi hijau. Namun, investasi di bisnis hijau memerlukan waktu dan proses panjang serta pembiayaan yang cukup besar. Dengan perkembangan teknologi, potensi EBT diyakini Adaro akan semakin baik di masa mendatang. Terkait investasi dan pembiayaan proyek EBT, Adaro meyakini perusahaan punya neraca keuangan yang kuat serta kinerja yang solid dalam mempercepat proyek-proyek transformasi dan mengembangkan proyek-proyek EBT. Di tahun 2024, Adaro menyiapkan belanja modal alias
capital expenditure (capex) sebesar US$ 600 juta sampai $700 juta, termasuk investasi ekuitas pada proyek-proyek terkait kawasan industri di Kalimantan Utara.
Baca Juga: Melongok Rencana Pertamina Geothermal dalam Pengembangan Pembangkit Listrik EBT “Selain dari kas internal, kami mempertimbangkan pembiayaan eksternal untuk proyek-proyek EBT yang membutuhkan pendanaan besar,” paparnya. Sejalan dengan transisi energi dan transformasi ekonomi Indonesia, Adaro ingin berperan penting dalam mendukung transisi energi Indonesia serta mengambil peluang demi mendukung ekonomi hijau. Melalui pilar Adaro Green, Adaro terus memperdalam portofolio energi terbarukan dengan berpartisipasi aktif dalam proyek-proyek pembangkit listrik energi baru dan terbarukan. Adaro pun memiliki beberapa proyek EBT yang sedang dijalankan.
Pertama, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sistem rooftop atau atap dengan kapasitas 130 kWp di Kelanis, Kalimantan Tengah, untuk melayani kebutuhan listrik di area tambang Adaro. Proyek ini dilakukan sejak tahun 2018. “Setelah berhasil dalam pembangunan dan pengoperasian PLTS atap 130 kWp, kami melakukan pengembangan dengan menambahkan kapasitas 468 kWp PLTS dengan sistem terapung (floating),” ungkapnya.
Kedua, Adaro turut mendukung inisiatif hilirisasi pemerintah dalam industri hijau dengan membangun smelter aluminium. Hingga saat ini, konstruksi smelter aluminium dan infrastruktur terkait berjalan sesuai dengan yang diharapkan. “Kami pun berniat untuk merampungkan pada tahun 2025 untuk tahap 1 sebesar 500.000 ton per tahun,” tuturnya.
Ketiga, PT Adaro Clean Energy Indonesia yang menandatangani nota kesepahaman Solar Photovoltaic (PV) dan Sistem Penyimpanan Energi Baterai (SPEB) di Indonesia dengan beberapa pabrikan manufaktur PV dan baterai (OEM/Original Equipment Manufacturer).
Keempat, pembangunan PLTA Mentarang Induk berkapasitas 1375 MW rencananya akan beroperasi di tahun 2030. PLTA ini menyediakan energi hijau untuk kawasan industri hijau di Kalimantan Utara.
Kelima, bersama Total Eren dan PJBI, Adaro menandatangani perjanjian dengan PT PLN untuk jual beli listrik untuk proyek PLTB Tanah Laut berkapasitas 70 MW yang dilengkapi dengan sistem penyimpanan energi baterai sebesar 10 MW/10 MWh di Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Selain Adaro, PT Arkora Hydro Tbk (
ARKO) juga tengah fokus pada pembangunan pembangkit listrik EBT. Setali tiga uang dengan Adaro, ARKO meyakini Indonesia saat ini sudah berada di jalur benar dalam pengembangan EBT, yang ditandai dengan target-target NZE dan bauran energi yang terukur. Pemerintah juga sedang menggodok RUU EBET dan RUPTL yang digadang-gadang sebagai RUPTL yang paling hijau, karena komposisi EBT dalam bauran energi akan jauh lebih besar dari target sebelumnya.
Baca Juga: Menilik 8 Bulan PLTS Terapung Cirata Beroperasi di Tengah Upaya Transisi Energi Hijau “Meskipun begitu, pemerintah perlu mendorong lebih kuat lagi dalam merealisasikan rencana-rencana tersebut,” ujar Head of Investor Relations ARKO, Nicko Yosafat, kepada Kontan. Optimistis itu juga timbul karena Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah mengadakan program Net Zero Incubator pada Agustus 2024 untuk membantu emiten dalam merencanakan target dekarbonisasi dan pelaporan emisi karbon. “Ini sangat terkait dengan bisnis kami selaku pengembang pembangkit listrik tenaga air (PLTA),” katanya. Menurut Nicko, masih ada potensi besar yang dapat digarap oleh pelaku bisnis EBT di Indonesia. Ini berdasarkan data Kementerian ESDM bahwa tingkat utilisasi energi EBT hanya 0,34% pada tahun 2023. Sementara, tingkat utilisasi energi dari tenaga air hanya 7,1% dari total potensi yang ada di Indonesia. Komitmen pemerintah untuk menghadirkan iklim investasi yang kondusif dalam pengembangan EBT juga seharusnya tak perlu diragukan, mengingat ada peningkatan Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mempercepat pencapaian NZE. Salah satu bentuknya adalah keringanan dalam penerapan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). “Keringanan ini menunjukkan pemahaman pemerintah atas kondisi di lapangan yang kini menghadapi tantangan dalam pemenuhan komponen dalam negeri,” paparnya. Bagi ARKO, tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan dalam mengembangkan dan menerapkan proyek EBT adalah adanya fenomena fossil lock-in yang terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Fenomena ini menjelaskan kondisi di mana suatu negara terlanjur terlalu banyak berinvestasi pada sumber energi dari fosil, karena terlanjur terlalu bergantung pada bahan bakar fosil. “Karena terlanjur banyak investasi di bahan bakar fosil, keberpihakan yang mendalam dalam meningkatkan investasi di sektor EBT sangatlah dibutuhkan,” tuturnya. Dengan ancaman perubahan iklim yang sudah secara jelas terjadi, urgensi untuk menggeser dari sumber energi batubara ke EBT menjadi kewajiban. Oleh sebab itu, berbagai perusahaan, seperti pertambangan hingga transportasi, mulai berinvestasi secara langsung dan tidak langsung ke pembangkit listrik EBT.
“Hal ini menunjukkan bahwa, baik pemerintah serta swasta, ke depannya akan meningkatkan investasi ke EBT. Hal ini yang akan memperluas kesempatan untuk pengembangan bisnis EBT di Indonesia,” katanya. Di tahun-tahun awal berdiri, ARKO masih menemukan kesulitan dalam mencari pembiayaan ke lembaga keuangan konvensional, seperti bank. Sebab, pada masa itu, bank-bank belum melihat bisnis EBT penting untuk dikembangkan sesegera mungkin. Namun, saat ini, tingkat kesadaran bank untuk menyalurkan kredit ke sektor EBT makin tinggi. Tidak hanya itu, lembaga-lembaga keuangan yang memang ditujukan untuk pembiayaan infrastruktur juga mulai bermunculan. Ini membuat ARKO saat ini lebih mudah dalam memperoleh pendanaan jika dibandingkan satu dekade yang lalu. “Untuk itu, ARKO mengeksplor lembaga pembiayaan yang fokus ke pembiayaan infrastruktur atau ke lembaga pembiayaan yang memiliki produk ataupun perhatian khusus pada pembiayaan infrastruktur dan pengembangan sektor EBT,” ungkapnya. Per tahun ini, ARKO memiliki dua proyek PLTA yang beroperasi, yakni PLTA Cikopo, Jawa Barat, dengan kapasitas 7,4 MW dan PLTA Tomasa, Sulawesi Tengah, dengan kapasitas 10 MW. Sementara, saat ini terdapat tiga proyek PLTA yang sedang dalam proses konstruksi. Pertama, PLTA Yaentu, Sulawesi Tengah, yang berkapasitas 10 MW. Kedua, PLTA Kukusan, Lampung, yang berkapasitas 5,4 MW. Ketiga, PLTA Tomoni, Sulawesi Selatan, berkapasitas 10 MW yang baru saja memulai proses konstruksi.
“Jika ditotal, contracted capacity ARKO sudah mencapai 42,8 MW dari lima PLTA tersebut,” ujarnya. Nicko menyebutkan, kontribusi proyek yang tengah digarap ARKO secara nominal belum sebanding dengan kapasitas terpasang dari sektor EBT se-Indonesia. Sebab, pada tahun 2023 saja, besaran kapasitas terpasang dari sektor EBT se-Indonesia adalah 12,7 GW. “Namun ke depannya, dengan total kapasitas dari pipeline kami yang sebesar 261,2 MW, harapannya ARKO dapat lebih berkontribusi untuk menerangi se-Indonesia secara berkelanjutan,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari