Begini perkembangan proyek hilirisasi batubara menjadi DME milik Bukit Asam (PTBA)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bukit Asam Tbk (PTBA) terus memacu pengembangan proyek hilirisasi batubara (coal) menjadi dymethil eter (DME) yang berlokasi di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Sebagai informasi, proyek ini digarap PTBA bersama dengan PT Pertamina dan Air Products & Chemicals Inc. (APCI). 

Sekretaris Perusahaan Bukit Asam, Apollonius Andwie mengatakan, sejauh ini proyek ini sedang dalam pembahasan perjanjian proyek gasifikasi batubara antara PTBA, Pertamina, dan Air Products. "Proses ini dalam tahap finalisasi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (23/11). 

Apollonius berharap, dengan dukungan penuh dari pemerintah diharapkan tahun 2022 proyek ini sudah bisa dimulai pembuatan desain engineering detailnya.


Proyek ini disebut akan mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar US$ 2,1 miliar dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun. Nantinya, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME pertahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.

Bahkan, kerja sama gasifikasi batubara ini  bisa menghemat cadangan devisa hingga Rp 9,7 triliun per tahun dan menyerap 10.000 tenaga kerja.

Baca Juga: Menteri Investasi: Awal tahun depan, investasi jumbo dari UEA akan masuk

Selain itu, proyek ini diharapkan dapat memberikan multiplier effect antara lain menarik investasi asing lainnya, dan melalui penggunaan porsi TKDN di dalam proyek juga dapat memberdayakan industri nasional dengan penyerapan tenaga kerja lokal.

Selain mengembangkan hilirisasi batubara menjadi DME, Bukit Asam juga berinisiatif mengajak mahasiswa di Indonesia mengembangkan teknologi carbon capture. 

Sebelumnya, Direktur Utama Bukit Asam Suryo Eko Hadianto mengungkapkan, pada 2022 Bukit Asam akan melaksanakan innovation award tentang carbon capture yang diikuti oleh seluruh universitas di Indonesia. 

"Dengan dana yang cukup besar, kami akan mengumumkan kalau kami sedang menyelenggarakan award, inovasi khusus untuk carbon capture," ujarnya dalam webinar GSKM Series 4, Batubara Strategi Hilirisasi Industri Metalurgi untuk Daya Saing Bangsa, Jumat (12/11).  

Suryo yakin, Indonesia masih memiliki waktu untuk mengembangkan teknologi carbon capture, sehingga pada waktunya nanti teknologi ini dapat ekonomis.  "Teknologi kalau sudah ketemu modelnya, pengembangannya akan eksponensial. Saat ini carbon capture sudah ada teknologinya, kita tinggal mengembangkan," kata dia. 

Suryo memberikan gambaran pentingnya menginjeksi teknologi ini ke PLTU.  Melihat situasi saat ini, Suryo mengatakan, apabila menutup PLTU bertenaga batubara dengan gegabah, maka yang akan terjadi, Indonesia terpaksa harus menanamkan investasi baru yang relatif lebih mahal untuk pembangkit sebesar PLTU dalam waktu singkat.

Jika hal ini terjadi, akan berdampak terhadap naiknya cost  produk turunan industri yang membutuhkan energi.  Alhasil, produk industri tersebut  akan menjadi kurang kompetitif, lalu tidak bisa bersaing di pasar ekspor. Lantas produk tersebut, harus dikonsumsi oleh masyarakat sendiri yang harus membayar mahal.

Suryo mengusulkan, setelah PLTU 20 tahun beroperasi (masih bisa digunakan untuk 20 tahun lagi) PLTU tidak ditutup tetapi diinjeksi dengan teknologi carbon capture. Dengan demikian terjadi optimasi dan batubara yang dimiliki dapat terutilisasi. Nantinya, emisi karbon dapat teratasi karena telah terinstallnya teknologi ini dan energi yang digunakan masyarakat serta industri harganya tidak naik. 

Selanjutnya: Cek rekomendasi saham Bukit Asam (PTBA) yang punya prospek menarik ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat