KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca merger dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC), PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (
BTPN, anggota indeks
Kompas100) kini mengarahkan panah bisnis ke segmen korporasi dan menengah alias komersial Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana mengatakan, dari segmen korporasi pihaknya menyasar perusahaan besar yang terbagi menjadi tiga jenis debitur.
Pertama, perusahaan asal Jepang yang beroperasi di Indonesia.
Kedua, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). Ketiga, perusahaan raksasa milik konglomerat. Di samping itu, salah satu emiten anggota indeks
Kompas100 ini juga akan menyasar debitur segmen menengah atau komersial secara selektif, serta tetap menjajal nasabah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Hari ini komposisi bisnis korporasi (terhadap total portofolio) sekitar 45%. Ritel banking termasuk pensiunan sekitar 10% dan UKM baru 10%. Dengan merger ini kami bisa kembangkan lebih lanjut," kata Ongki saat ditemui di Menara Kompas, Jumat (15/3). Ongki menyebutkan, sejumlah sektor yang saat ini menarik bagi BTPN antara lain manufaktur besar, energi, ketahanan pangan serta infrastruktur. BTPN menjajal sektor ini lantaran dari segi persaingan cenderung lebih rendah. Maklum, untuk masuk ke segmen korporasi besar, perbankan harus memiliki modal yang cukup dan kompeten dibidang tersebut. Kata Ongki, Inilah yang menjadi keunggulan BTPN setelah merger dengan SMBC. Sebab, SMBC di Indonesia sudah sejak lama fokus menyalurkan kredit ke debitur korporasi besar. "Kami akan fokus di area-area yang memerlukan keahlian
project finance, sindikasi dan tentunya pembiayaan valuta asing (Valas)," kata dia. Bukan cuma segmen kredit besar saja, BTPN juga akan tetap mempertahankan lini bisnis yang menjadi andalan sebelumnya. Seperti
wholesale banking,
business banking,
retail banking dan
treasury. Strategi bisnis ritel ke depan, menurut Ongki, akan didorong agar lebih efisien untuk menekan
operating expense (opex). Cara utama yang sudah digalakkan sejak lama oleh perseroan yaitu dengan memanfaatkan teknologi digital (digital banking). Sebab, dalam catatan Ongki, ada lebih dari 35% debitur ritel BTPN yang masuk dalam kategori milenial. Potensi inilah yang akan dijajal BTPN untuk lebih menggemukkan laba. Sebagai informasi saja, Bank BTPN pasca merger memang memiliki jangkauan bisnis yang lebih lebar. Hal ini tercermin dari total aset yang menembus Rp 189,9 triliun, menjadikan Bank BTPN sebagai bank terbesar kedelapan dari segi aset di Tanah Air.
Total ekuitas perusahaan juga tercatat melambung tinggi dari sebelum merger Rp 19,4 triliun menjadi Rp 29 triliun setelah merger efektif 1 Februari 2019 silam. Secara keseluruhan per akhir 2018 lalu total kredit Bank BTPN sudah mencapai Rp 133,2 triliun. Komposisi kredit perseroan terbesar masuk ke segmen
wholesale dan korporasi Jepang (Japanese Corporate Banking) sebesar 49%. Segmen kedua bersumber dari bisnis ritel antara lain ditopang kredit pensiunan, konsumer dan
digital banking sebanyak 34%. Sementara
business banking mencapai 12% terbagi dari kredit UKM dan Mikro. Adapun sisanya, sebesar 5%, merupakan porsi pembiayaan mikro prasejahtera yang mayoritas dikendalikan BTPN Syariah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi