KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten minyak kelapa sawit mentah alias
crude palm oil (CPO) masih ngos-ngosan. Tak hanya terdampak negatif dari fluktuasi harga jual dan sejumlah aturan pemerintah, emiten CPO juga terkena
haircut nilai saham yang cukup tinggi. Asal tahu saja,
haircut adalah pemangkasan saham untuk perhitungan agunan dan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) anggota kliring.
Haircut merupakan persentase tertentu dari suatu saham yang ditetapkan oleh PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) sebagai pengurang nilai pasar wajar saham.
Dalam menetapkan nilai
haircut, KPEI dibantu dengan Komite Haircut sebagai salah satu organ perusahaan yang turut menetapkan kriteria dan menentukan besarannya.
Baca Juga: Menilik Kesiapan Industri Sawit Menghadapi B60, Ekspor akan Makin Dikorbankan? PT Triputra Agro Persada Tbk (
TAPG) mengaku masih akan terus mengikuti kebijakan dari otoritas terkait nilai haircut saham. “Pada saat ini kami terus mengikuti semua kebijakan di bursa, termasuk
haircut value saham yang ditetapkan KPEI,” ujar Sekretaris Perusahaan TAPG Joni Tjeng kepada Kontan.co.id, Selasa (22/10). Joni mengungkapkan, TAPG telah memiliki kerangka bisnis berkelanjutan yang dibagi menjadi tiga fokus utama, yaitu
people, planet, dan
prosperity. Hal ini dilakukan sebagai strategi untuk menangkal isu negatif industri sawit. “Masing-masing aspek tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh beragam inisiatif dan upaya untuk meminimalisasi dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif,” ungkapnya.
Baca Juga: Mentan Targetkan Implementasi B50 di Tahun 2026 Sebagai kontribusi TAPG pada dampak perubahan iklim, Triputra Agro juga telah meluncurkan
New Journey of TAPG Sustainability. “Ini adalah sebuah rumusan kebijakan berkelanjutan terbaru sebagai komitmennya untuk menjadi
green company yang memiliki kontribusi pada lingkungan, sosial, dan ekonomi,” papar Joni. Founder Stocknow.id Hendra Wardana mengatakan, saham-saham emiten CPO di bursa saat ini mengalami tekanan terkait jaminan margin dari problem nilai
haircut mereka. Nilai agunan saham para emiten CPO telah dipangkas oleh perbankan dan lembaga keuangan, karena volatilitas harga CPO serta meningkatnya risiko lingkungan dan sosial yang melekat pada sektor ini. “Penurunan nilai agunan tersebut membuat perusahaan sawit sulit menggunakan saham mereka sebagai jaminan untuk memperoleh pembiayaan, yang berujung pada keterbatasan likuiditas,” ujarnya kepada Kontan, (22/10).
Baca Juga: Dorong Produksi CPO, BWPT Lakukan Penanaman Baru Sawit Hingga 4.000 Ha di Kaltim Kondisi ini kemungkinan juga dapat menjadi alasan mengapa rencana
initial public offering (IPO) perusahaan BUMN Sawit, PalmCo, masih mengalami penundaan. “Investor dan lembaga keuangan menjadi lebih berhati-hati dalam menilai risiko perusahaan sawit di tengah tantangan tersebut,” ungkapnya. Di tengah kondisi tersebut, beberapa saham emiten CPO seperti PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (
LSIP), PT Astra Agro Lestari Tbk (
AALI), dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (
SSMS) masih mencatat kenaikan harga saham dalam sebulan terakhir. Melansir RTI, kinerja saham LSIP naik 22,06% dalam sebulan. Lalu, saham AALI naik 2,6% dan SSMS naik 11% dalam sebulan terakhir. “Hal tersebut seiring optimisme investor terhadap kenaikan harga CPO global,” tuturnya.
Baca Juga: Cermati Ini Daftar Emiten yang Berpotensi Cuan Pasca Pelantikan Prabowo-Gibran Namun, meskipun ada kenaikan harga saham, kondisi
haircut value tetap berdampak negatif bagi emiten, terutama dari sisi likuiditas. Mereka harus mencari alternatif pembiayaan yang lebih mahal atau terbatas, sehingga bisa mempengaruhi ekspansi bisnis. “Bagi investor, adanya
haircut value meningkatkan persepsi risiko atas saham-saham emiten CPO, dan volatilitas harga saham mereka pun cenderung lebih tinggi,” tuturnya. Untuk menghadapi sentimen negatif, seperti tuduhan kerusakan lingkungan, larangan impor dari Uni Eropa dan India, serta tantangan kesejahteraan masyarakat di lahan sawit, emiten CPO perlu menerapkan strategi jangka panjang yang berfokus pada diversifikasi pasar dan peningkatan standar
environmental, social, governance (ESG). Menurut Hendra, diversifikasi pasar dapat dilakukan dengan memperluas ekspor ke sejumlah negara, seperti China, Afrika, dan Timur Tengah.
Baca Juga: Harga CPO Naik 9,74% Sebulan Terakhir, Begini Dampaknya pada Kinerja Emiten Sawit Selain itu, peningkatan efisiensi operasional dan investasi dalam energi terbarukan seperti biodiesel menjadi langkah strategis yang penting untuk mempertahankan kinerja di tengah tekanan. “Di sisa tahun 2024 dan sepanjang 2025, kinerja emiten CPO akan sangat bergantung pada harga komoditas global, kebijakan biofuel domestik, serta perkembangan kebijakan impor di pasar internasional,” paparnya. Dengan melihat sentimen potensi perbaikan harga CPO dan kebijakan domestik, Hendra merekomendasikan beli untuk saham LSIP, AALI, dan SSMS dengan target harga masing-masing Rp 1.360 per saham, Rp 7.600 per saham, dan Rp 1.300 per saham. Hendra melihat, LSIP diperkirakan akan mendapat manfaat dari peningkatan produksi dan efisiensi operasionalnya. Sementara, AALI dengan diversifikasi bisnisnya, termasuk pengembangan biofuel, memiliki potensi untuk bertahan lebih baik di tengah fluktuasi harga CPO. “Kinerja SSMS juga diperkirakan tetap solid dengan margin yang relatif kuat,” ungkapnya.
Baca Juga: Terpapar Sentimen Negatif, Cermati Rekomendasi Saham CPO Junior Equity Analyst Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty melihat, beberapa saham emiten CPO mengalami tekanan karena penerapan haircut value, yaitu pengurangan nilai saham saat digunakan sebagai jaminan dalam
margin trading. Besarnya
haircut ditentukan oleh risiko pasar dari saham tersebut. Saham yang lebih berisiko akan memiliki
haircut lebih besar, sehingga mengurangi jumlah pinjaman yang bisa diperoleh investor. “Dalam kasus PalmCo, IPO-nya ditunda lebih karena karena perusahaan fokus meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit melalui
replanting agar valuasi perusahaan lebih baik sebelum melantai di bursa?,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (22/10). Walaupun ada kenaikan harga saham emiten CPO,
haircut value dapat mempengaruhi investor yang menggunakan fasilitas margin trading, karena nilai saham yang bisa dijaminkan berkurang. Namun, hal ini tidak berdampak langsung pada investor yang tidak menggunakan margin. “Kenaikan harga CPO global dan peningkatan permintaan dapat membantu mendukung kinerja para emiten sawit? ke depannya,” paparnya.
Baca Juga: Kebijakan Energi Jokowi Bikin Kantong Pengusaha Tambang dan Sawit Makin Tebal Menurut Arinda, emiten CPO perlu mengatasi berbagai sentimen negatif, seperti masalah lingkungan serta larangan impor dari Uni Eropa dan India. Strategi yang dapat diambil para emiten CPO adalah memperkuat praktik berkelanjutan yang sesuai dengan standar internasional, seperti RSPO, serta membuka pasar di luar Uni Eropa. “Prospek kinerja mereka di akhir tahun 2024 hingga 2025 juga masih berpotensi positif dengan permintaan dari negara-negara di Asia dan Afrika, meskipun tantangan regulasi tetap ada?,” ungkapnya. Arinda pun merekomendasikan
hold untuk LSIP dan AALI dengan target harga masing-masing Rp 1.210 per saham dan Rp 7.200 per saham.
Baca Juga: Ekspor CPO Turun pada September 2024, GAPKI Beberkan Penyebabnya Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo melihat, saham-saham yang terkena
haircut value sebenarnya merupakan emiten yang memiliki transaksi yang cenderung kecil. “Beberapa emiten CPO yang memiliki kapitalisasi pasar besar justru memiliki
haircut yang cukup baik,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (22/10). Minimnya sentimen positif pada sektor CPO mungkin bisa menjadi alasan mengapa
haircut value yang besar dialami para emiten sawit. “Tetapi, perlu diperhatikan juga dari sisi manajemen, apakah emiten tersebut memang ada kendala yang lainnya,” tuturnya.
Menurut Azis, kenaikan kinerja saham emiten CPO dalam beberapa waktu terakhir didorong oleh adanya pemangkasan Levy serta program B40 dan B60 yang rencananya akan segera diterapkan pemerintah Indonesia “Kedua sentimen positif itu ke depannya bisa mengimbangi sentimen negatif industri sawit dari global. Kenaikan transaksi pada emiten CPO ini juga bisa mempengaruhi dari sisi
haircut-nya,” ungkapnya. Azis merekomendasikan
trading buy untuk LSIP dengan target harga Rp 1.400 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati