KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nasib kurang baik masih menghantui prospek emiten tekstil. Terbaru, raksasa tekstil di Indonesia PT Sri Rejeki Isman Tbk (
SRIL) alias Sritex ditanyakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang. Pengadilan Niaga Semarang juga menyatakan pailit kepada tiga anak usaha Sritex, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya yang disebabkan oleh beban utang yang melebihi nilai aset yang dimiliki. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham Sritex juga sudah digembok sejak 18 Mei 2021. Artinya, perdagangan saham SRIL sudah disuspensi selama 41 bulan atau tiga tahun lima bulan.
Suspensi tersebut dilakukan BEI karena Sritex menunda Pembayaran Pokok dan Bunga MTN Sritex Tahap III Tahun 2018 ke-6. Terakhir saham SRIL berada di level Rp 146.
Baca Juga: Sritex Pailit, Berpotensi Memicu PHK Massal di Indonesia I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian BEI mengatakan, otoritas bursa telah menyampaikan permintaan penjelasan dan pengingat kepada SRIL untuk menyampaikan keterbukaan informasi. "Menyampaikan keterbukaan informasi mengenai tindak lanjut dan rencana SRIL terhadap putusan pailit termasuk upaya SRIL untuk mempertahankan
going concern-nya," jelasnya kepada wartawan, Kamis (14/10). Tekanan pada industri tekstil juga tercermin dari beberapa kinerja emiten. Salah satunya, PT Century Textile Industry Tbk (
CNTX) yang masih menderita kerugian hingga Maret 2024. Di kuartal I-2024, CNTX membukukan penjualan bersih sebesar US$ 6,99 juta atau turun 25,63% secara tahunan. Dari sisi
bottom line, CNTX harus menanggung rugi sebesar US$ 1,45 juta. Namun jalan lain ditempuh oleh CTNX. Perusahaan yang dikendalikan oleh Penfabric Snd Berhad dan Toray Industries Inc memilih untuk menjadi perusahaan tertutup alias go private dan delisting dari bursa. CNTX menawarkan harga tender sebesar Rp 400 per saham. Harga penawaran ini 181,7% lebih tinggi dari harga rata-rata dari harga tertinggi perdagangan harian di BEI dalam jangka 90 terakhir.
Adityo Nugroho, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas mengatakan untuk industri tekstil memang sudah lama dalam tekanan karena tidak mampu bersaing dengan produk dari negara lain yang lebih murah. "Karena industrinya padat karya maka akan kalah bersaing dengan produk serupa dari negara-negara yang upah pekerjanya di bawah Indonesia, seperti Vietnam," katanya kepada Kontan, Kamis (24/10). Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus menambahkan lesunya industri tekstil dalam negeri disebabkan oleh dua hal utama.
Pertama
, turunnya permintaan global dan produk impor dari produk China yang besar dan harganya lebih murah. Nico bilang dua hal itu membuat produk dalam negeri kalah bersaing. Nico sendiri menilai di tengah situasi dan kondisi, di mana kurangnya dukungan terhadap sektor tekstil, menghindari saham-saham dari sektor ini jauh lebih baik daripada memilih masuk. "Indonesia butuh regulasi yang kuat untuk menahan masuknya impor sembari menanti pulihnya permintaan. sebab, itu memilih sektor yang lain mungkin akan menjadi cara terbaik, setidaknya untuk saat ini," ucap dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari