Begini Prospek Harga Logam Industri Saat Ekonomi China Masih Lesu



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi China yang lesu berimbas negatif terhadap pergerakan harga komoditas logam industri.

Mengutip Trading Economics, pada Rabu (11/9) pukul 19.00 WIB, harga aluminium diperdagangkan pada level US$ 2.366 per ton, menguat 1,26% dalam sehari dan menguat 0,98% dalam seminggu. 

Untuk harga nikel bertengger di level US$ 15.964 per ton, menguat 1,35% dalam sehari dan menguat 0,38% dalam seminggu. 


Sementara tembaga kontrak tiga bulan di Bursa Logam London (LME), pada Selasa (10/9) terkoreksi 0,4% menjadi US$ 9.063,50 per metrik ton dalam perdagangan terbuka resmi, setelah naik 1,1% pada sesi sebelumnya.  

Baca Juga: Harga Perak Terbebani Sentimen Ketidakpastian Pemangkasan Bunga The Fed

Pengamat komoditas dan Founder Traderindo.com. Wahyu Tribowo Laksono melihat secara fundamental memang ekonomi global belum terlalu meyakinkan. Akibat dari perlambatan pemulihan ekonomi China yang lebih lambat, alhasil cenderung menekan demand. 

"China mengalami perlambatan ekonomi dan AS terancam pelemahan ekonomi dmn inflasi dan pasar tenaga kerja melemah," kata Sutopo kepada KONTAN, Rabu (11/9). 

Seperti diketahui data PMI manufaktur resmi China secara tak terduga merosot ke 49,1 pada bulan Agustus, yang merupakan kontraksi paling tajam dalam aktivitas pabrik tahun ini. Alhadil kondisi tersebut turut meredam prospek permintaan. 

Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menambahkan bahwa Beijing yang masih ragu-ragu untuk memperluas dukungan fiskal ke sektor manufaktur tradisional, justeru malah sebaliknya berfokus pada pendanaan teknologi yang sedang berkembang. 

Selain itu, kemungkinan The Fed mulai memangkas suku bunga minggu depan juga meningkatkan sentimen investor. 

Di sisi lain, untuk logam industri aluminium, Sutopo mengatakan aluminium di Tiongkok bangkit kembali didukung oleh peningkatan ketersediaan tenaga hidroelektrik di Yunnan karena membaiknya curah hujan, yang selanjutnya menekan harga turun.

Sementara untuk harga nikel, penyebab penurunannya karena over supply.

Baca Juga: Emas Berjuang Raih Momentum saat Investor Fokus ke Data Ketenagakerjaan AS, Pagi Ini

"Indonesia, yang kini memproduksi lebih dari setengah nikel dunia, telah meningkatkan produksi secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang menyebabkan harga turun dan memaksa penutupan produsen di tempat lain," kata Sutopo kepada KONTAN, Rabu (11/9). 

Sutopo memproyeksikan harga nikel akan diperdagangkan pada US$ 16.417,27 per metrik ton pada akhir kuartal ini. Sementara pada akhir tahun harganya akan US$ 15.414,66 per metrik ton.

Untuk aluminium diperkirakan akan diperdagangkan pada US$ 2485,42 per ton pada akhir kuartal ini,  dan US$ 2604,34 per ton di akhir tahun.

Sementara tembaga diperkirakan akan diperdagangkan pada US$ 4,22 per LB pada akhir kuartal ini, dan US$ 4,44 per LB pada akhir tahun.

Wahyu memproyeksi harga nikel akan cenderung menguat di kisaran US$ 2.000-3000 per ton. Sementara akhir tahun harganya diprediksi US$ 2700 per ton. 

Untuk tembaga, Wahyu menilai harganya masih konsolidasi dan rawan terkoreksi di kisaran US$ 8.000-US$ 10.000 per LB.  Sementara nikel akhir tahun harganya akan dikisaran US$ 10.000 - US$ 22.000 per ton.

Selanjutnya: ExxonMobil Hadirkan Solusi Pelumasan Inovatif di Mining Indonesia 2024

Menarik Dibaca: Kena Hack, Platform Indodax Masih Belum Bisa Diakses

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi