KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek kinerja saham teknologi di sisa tahun 2023 ini diperkirakan masih belum cerah. Melansir laman BEI, Minggu (13/8), IDX Sector Technology turun 13,84% dari awal tahun ini alias secara
year to date (YtD). Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy mengatakan, bisnis teknologi di Indonesia masih berbentuk e-commerce, belum sebagai perusahaan yang benar-benar ada di bidang teknologi.
Jika saham teknologi asing mengalami kenaikan pun kemungkinan besar tidak akan terpengaruh dengan kinerja saham teknologi di Tanah Air. “Saham-saham teknologi di luar negeri itu benar-benar perusahaan teknologi, seperti Apple, Amazon, Microsoft, dan Google,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (13/8).
Baca Juga: Indeks Syariah Belum Merekah, Cermati Prospek & Rekomendasi Saham yang Layak Koleksi Agar kinerja saham-saham teknologi di Tanah Air bisa meningkatkan kinerjanya, tentunya diperlukan beberapa strategi. Budi menyarankan agar emiten-emiten teknologi bisa mengurangi
cost untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Sebab, pendapatannya yang berbasis
gross merchandise value (GMV) sudah tidak lagi menarik perhatian investor. “Setelah pandemi selesai, banyak masyarakat yang keluar rumah untuk kembali menikmati
shopping experience secara
offline,” paparnya. Sementara, untuk ojek online, harganya saat ini sudah relatif mahal, karena sudah tidak ada lagi subsidi. “Akibatnya, sebagian masyarakat kembali naik transportasi publik konvensional atau naik kendaraan pribadi,” tutur Budi.
Baca Juga: Simak Prospek Kinerja Reksadana Pendapatan Tetap di Sisa Tahun 2023 Selain itu, kompensasi karyawan di perusahaan teknologi Indonesia sangat mahal, sehingga berat untuk
recovery jika mereka tidak melakukan perampingan dan mencari inisiatif yang baru. Namun, Budi melihat, para emiten teknologi saat ini cenderung memilih masuk ke bisnis
offline yang memiliki perbedaan masalah dan tantangan dengan bisnis berbasis teknologi. Menurutnya, perusahaan teknologi akan kesulitan untuk menjadi perusahaan konvensional. Sebab, struktur dan perusahaannya berbeda. “Positifnya, top management kini menyadari
funding sudah tidak mudah lagi didapatkan, sehingga harus melihat berapa lama
runway dengan
burning rate seperti saat ini,” ungkapnya. Budi mengatakan, rekomendasi dan target harga untuk saham-saham emiten teknologi belum bisa diprediksi. Selain itu, ada banyak pesaing baru yang masuk di
e-commerce di tengah gempuran media sosial yang juga mulai menyediakan
market place. Di sisi lain, perusahaan
delivery express juga mengalami persaingan harga.
Baca Juga: IHSG Berpotensi Melemah di Awal Pekan (14/8), Ini Katalis yang Menyeretnya “Saya lihat ada tekanan untuk Sell. Sebab, faktor
free float sangat besar dan masih tinggi, sehingga masih sulit harga sahamnya untuk naik,” paparnya.
Saham GOTO saat ini sudah 70% merupakan saham publik dan 50,5% saham BUKA sudah menjadi saham publik. Oleh karena itu, susah untuk kembali menggerakkan harga saham GOTO dan BELI, karena investor strategis sudah tidak begitu punya kepentingan besar. “Sementara, investor strategis BELI masih memiliki 83,7% saham kepemilikan,” ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .