KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rupiah terus tertekan dan akhirnya tembus ke level Rp 15.800 per dolar Amerika Serikat (AS) di pekan lalu. Bahkan, dalam sepekan, nilai tukar rupiah terpantau anjlok 1,34% setelah ditutup di level Rp 15.825 per dolar AS pada Jumat (26/1). Research And Development PT. Handal Semesta Berjangka, Alwy Assegaf mencermati, rupiah sebenarnya tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya, tekanan memang sangat besar dari dolar AS yang terus melaju berkat dukungan data-data ekonomi terkini. Alwi menjelaskan, Indeks Dolar AS (DXY) sendiri terlihat baru-baru ini mencapai level tertinggi 6 minggu. Ini dipicu sentimen yang menguatkan aset
safe haven seperti dolar AS dan ekspektasi The Fed memangkas suku bunga di awal tahun ini yang perlahan memudar.
Data-data ekonomi Amerika terakhir menunjukkan lapangan kerja dan inflasi mulai naik lagi. Kemudian data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal IV-2023 yang meningkat 3,3%, masih berada diatas ekspektasi pasar sekitar 2%
Baca Juga: Rupiah Melemah 1,34% dalam Sepekan Hingga Tembus Rp 15.800 per Dolar AS “Data ekonomi AS menguatkan pandangan bahwa The Fed tidak akan memangkas suku bunga di bulan Maret 2024, seperti yang diinginkan pasar sebelumnya,” ujar Alwi kepada Kontan.co.id, Jumat (26/1). Alwi menyebutkan, ekspektasi pasar menurun yang tercermin dari probabilitas The Fed menurunkan suku bunga berada di bawah 50% atau tepatnya 48,1% berdasarkan laporan CME Fedwatch. Di samping itu, penguatan dolar AS berkat dorongan dari kenaikan Yield US Treasury tenor 10 tahun yang berada di atas 4%. Kondisi tingginya Yield obligasi dapat menarik lebih banyak dana investasi ke negara tersebut, yang berdampak pada penguatan dolar AS. Sementara itu, lanjut Alwi, stimulus yang diberikan oleh Pemerintah Tiongkok untuk mendorong ekonomi negara tersebut, dianggap gagal mendukung mata uang kawasan Asia termasuk Rupiah. Stimulus yang digelontorkan bernilai jumbo belum mampu mengalahkan sentimen dari penguatan dolar AS. Dari dalam negeri, Alwi melihat bahwa minimnya data ekonomi selama pekan ini menjadi alasan rupiah tidak banyak bergerak. Investor juga cenderung
wait and see dalam menantikan pemilihan Presiden pada 14 Februari mendatang. Selain itu, investor juga tengah memperhatikan kabar lebih lanjut terkait mundurnya Sri Mulyani sebagai sosok sentral dalam meramu kebijakan keuangan di pemerintahan. “Dampak isu mundurnya Sri Mulyani menjadi sentimen bagi Rupiah karena Dia memegang kunci penting dalam kabinet Jokowi,” ucap Alwi. Alwi menilai, saat ini masih sangat sulit untuk mengalahkan dolar di tengah ekspektasi The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama. Namun, rupiah kemungkinan bakal mendapatkan dorongan dari hasil rapat FOMC The Fed pada 31 Januari 2024.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Menguat Tipis ke Rp 15.825 Per Dolar AS Pada Hari Ini (26/1) Rupiah berharap adanya nada
dovish yang disampaikan oleh Ketua Fed, Jerome Powell, dalam pertemuan tersebut. Pernyataan dari Jerome Powell terkait kebijakan moneter lebih longgar dapat mendukung rupiah, sekalipun masih banyak Pejabat The Fed yang menentang pemangkasan suku bunga lebih awal.
“Kalau terdapat nada-nada
dovish dari Jerome Powell, maka bisa jadi katalis bagi rupiah untuk berbalik menguat,” ujar Alwi. Menurut Alwi, rapat perdana The Fed di tahun ini sangat krusial untuk melihat arah suku bunga Bank Sentral AS ke depannya. Dengan asumsi The Fed menyiratkan pesan kebijakan moneter yang lebih longgar, Alwi memperkirakan rupiah bakal menguji area 15.670 dan bisa menuju area 15.530. Dia mencermati saat ini pergerakan rupiah secara teknikal sudah
overbought, sehingga memberikan peluang rupiah bakal menguat terhadap dolar AS. Hanya saja, Alwi mengamati, level 16.000 mungkin bakal menjadi area psikologis rupiah pada akhir kuartal I-2024, seiring narasi suku bunga tinggi masih membayangi pasar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari