KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah komoditas mineral masih menunjukkan harga yang solid sepanjang tahun ini. Namun, pergerakan harga sejumlah komoditas diproyeksikan tidak akan seagresif tahun lalu. Salah satunya adalah emas. Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu mengatakan, potensi kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat dari rencana awal, yaitu dari 2024 menjadi 2023, menjadi penekan utama harga emas global saat ini. Terlebih lagi, diskusi akan kebijakan
tapering juga telah dimulai. Sementara itu, kekhawatiran atas kenaikan kasus Covid-19 lebih terjadi di pasar domestik, sehingga tidak mempengaruhi pasar emas global secara signifikan. "Dengan demikian, belum bisa menjadi katalis pendorong harga emas," terang Dessy kepada Kontan.co.id, Senin (12/7).
Samuel Sekuritas Indonesia memproyeksikan harga emas pada 2021-2022 akan berada pada level US$ 1.800 per ons troi-US$ 2.000 per ons troi.
Baca Juga: Jangan Silau Memilih Tawaran Investasi Emas Untuk komoditas nikel, Head of Research Maybank Kim Eng Sekuritas Isnaputra Iskandar menggunakan asumsi harga nikel sebesar US$ 15.500 per ton untuk tahun 2021. Adapun sejumlah faktor yang bisa mempengaruhi harga nikel antara lain pemulihan ekonomi global, perkembangan teknologi baterai listrik, serta kebijakan pemerintah dari negara-negara utama di industri nikel seperti Indonesia, China, dan Filipina. Lebih lanjut, permintaan mobil listrik yang meningkat akan menjadi katalis utama untuk harga nikel. Saat ini, permintaan nikel dari sektor baterai kurang dari 5% dari total permintaan nikel. "Diperkirakan dalam lima tahun ke depan, angka ini dapat meningkat menjadi 15%-20% dari total permintaan," terang Isnaputra kepada Kontan.co.id, baru-baru ini. Sementara itu, prospek harga komoditas tembaga diproyeksikan masih cukup cerah. Analis Panin Sekuritas Juan Oktavianus melihat, tren produksi tembaga masih akan lemah, seiring dengan penurunan dari produksi tembaga segmen hulu akibat dari disrupsi operasional pandemi Covid-19. Suplai tembaga juga masih melemah seiring masih lemahnya aktivitas produksi yang berkaitan dengan aksi mogok kerja di tambang tembaga Escondida. Potensi implementasi peningkatan pajak royalti juga mempengaruhi produksi tembaga.
Baca Juga: Jaga suplai, Timah (TINS) fokus kejar target produksi Namun, dari sisi permintaan, Juan melihat adanya potensi peningkatan seiring dengan meningkatnya aktivitas industri khususnya di China, yang bermuara pada peningkatan permintaan dari smelter tembaga di Negeri Tirai Bambu tersebut. Berdasarkan hal ini, Panin Sekuritas memperkirakan rerata harga tembaga akan berada di level US$ 9,0 per ton, atau tumbuh 46,4% bila dibandingkan dengan periode 2020.
Seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menetapkan transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan, komoditas tembaga bisa mendapatkan peluang dari sentimen ini. Salah satunya karena tembaga merupakan konduktor listrik dan panas yang saat ini paling efisien. Adapun penggunaan tembaga pada teknologi energi terbarukan lebih besar 4 kali sampai 6 kali daripada teknologi bahan bakar fosil atau teknologi nuklir. Dus, perkembangan positif dari industri mobil listrik akan berdampak pada peningkatan permintaan akan tembaga ke depan. "Hal ini didasari pada kebutuhan tembaga yang tinggi pada mobil listrik dibandingkan dengan mobil konvensional," tulis Juan dalam riset, Kamis (1/7).
Baca Juga: Harga Logam Industri Terkerek Keputusan China Mengurangi Cadangan Uang Tunai di Bank Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati