Begini Proyeksi Pergerakan Rupiah di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah menanti kebijakan fiskal dan moneter dari pemerintahan baru. Realisasi kebijakan yang diusung Presiden Prabowo Subianto bakal menentukan arah rupiah selanjutnya..

Research & Development Trijaya Pratama Futures Alwi Assegaf mengatakan, pasar saat ini masih menimbang kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintahan Prabowo – Gibran. Di mana, realisasi dari program-program yang disampaikan sebelumnya akan menjadi sorotan.

Alwi mengatakan, sejauh ini masih terlalu dini untuk menilai kinerja pemerintahan Prabowo yang bisa berdampak bagi kondisi pasar keuangan, termasuk rupiah. Setidaknya butuh 100 hari kerja untuk melihat dengan jelas, bagaimana arah pasar keuangan di bahwa komando pemerintahan baru.


Menurut dia, kabinet "gemuk" Prabowo ataupun program makan siang gratis dengan jumlah anggaran fantastis, semestinya sudah diantisipasi oleh pasar. Sehingga, sentimen negatif yang berpotensi memicu pembengkakan APBN itu seharusnya sudah berlalu.

Di sisi lain, Sri Mulyani yang dipercaya kembali menjadi Menteri Keuangan, dipandang positif bagi nilai tukar rupiah. Hal tersebut karena Menkeu Sri Mulyani diperkirakan tetap membawa kebijakan fiskal dan moneter yang prudent.

Baca Juga: Rupiah Diproyeksi Lanjut Melemah pada Hari Ini (29/10)

"Kita lihat nanti 100 hari kerjanya seperti apa dampaknya untuk pemerintahan. Jadi pemerintahan yang baru sebulan ini kita masih belum bisa mengatakan, kalau ada sentimen negatif buat pergerakan rupiah atau saham," ujar Alwi saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (28/10).

Alwi memandang, saat ini koreksi nilai tukar rupiah bukan dipengaruhi oleh euforia yang berakhir karena pemerintahan baru dimulai, ataupun sentimen negatif terkait kebijakan pemerintah yang bakal dieksekusi. Namun, tekanan rupiah lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal.

Pelemahan rupiah dianggap karena faktor penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap sekeranjang mata uang. Hal itu terjadi seiring penguatan dolar AS dan kenaikan imbal hasil obligasi AS yang memicu arus masuk (inflow) ke Negeri Paman Sam tersebut.

Alwi menuturkan, penguatan dolar AS karena sikap hati-hati Federal Reserve (The Fed) dalam memangkas suku bunga. Sebelumnya, bank sentral AS berniat melakukan pemangkasan suku bunga secara agresif.

"The Fed tidak akan agresif memangkas suku bunga yang sebelumnya diperkirakan 50 basis point (bps) di November. The Fed diperkirakan akan pangkas suku bunga secara bertahap. Bahkan, saat ini muncul juga probabilitas yang mengatakan bahwa The Fed akan menahan suku bunga di level sekarang," jelas Alwi.

Terlebih lagi, Alwi menambahkan, dolar AS bakal makin perkasa seiring kemungkinan Donald Trump terpilih dalam Pilpres AS pada 5 November mendatang.

Sebab, Trump mungkin bakal membawa kebijakan yang bisa mengerek inflasi seperti kenaikan tarif impor, dan pada akhirnya berpengaruh pada keputusan suku bunga hawkish untuk meredam inflasi.

Ketidakpastian politik itu biasanya membuat juga mode pasar menjadi risk-off, dengan aset-aset safe haven seperti dolar AS bakal menjadi buruan investor. Di sisi lain, rupiah merupakan mata uang berisiko yang bakal dihindari saat kondisi pasar tak menentu.

Belum lagi, masalah geopolitik di Timur tengah yang masih belum kelar terus mengangkat dolar AS sebagai aset lindung nilai (safe haven). Kabar teranyar, Israel diperkirakan bakal melakukan serangan balasan terhadap Iran yang berpotensi memperluas konflik.

Baca Juga: Rupiah Melemah Tembus Rp 15.700 Per Dolar AS, Ini Sentimen yang Menyeretnya

Selain faktor Amerika, Alwi mencermati bahwa nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh kebijakan stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah China. Kebijakan paket stimulus baru yang disiapkan bakal semakin menarik arus keluar dari pasar domestik menuju China.

Alwi berujar, fundamental ekonomi Indonesia sendiri masih cukup solid seperti terlihat dari suplus neraca perdagangan, dan cadangan devisa (cadev) yang turun tipis pada bulan September 2024. Meskipun memang adanya perlambatan ekonomi yang tercermin dari deflasi 5 bulan berturut-turut.

Adapun hingga akhir tahun ini, rupiah diperkirakan cenderung tertekan yang utamanya dipengaruhi faktor probabilitas Trump menjadi Presiden. Dengan sikap proteksionisme Trump, maka bakal menjadi sentimen negatif yang bisa mengerek suku bunga di level tinggi.

"Jadi kemungkinan rupiah masih akan melemah, dengan potensi pelemahan kemungkinan akan menguji level Rp 15.800 per dolar AS hingga Rp 15.965 dolar AS untuk area resistance. Sedangkan, area support bagi rupiah di Rp 15.450 per dolar AS," pungkas Alwi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari